Berita

Pemerintah Adalah Pelayan, Rakyat Adalah Tuannya
Berita Terbaru

Pemerintah Adalah Pelayan, Rakyat Adalah Tuannya

Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute

Mengembalikan Arti “Negara untuk Rakyat”

Sudah terlalu lama bangsa ini terjebak dalam logika kekuasaan bahwa rakyat harus tunduk kepada negara, dan negara adalah instrumen penguasa. Padahal, secara filosofis dan moral, negara sejatinya dibentuk oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat. Pemerintah bukanlah majikan rakyat, melainkan pelayannya. Ia tidak berhak menguasai hidup rakyat, melainkan wajib memastikan rakyat dapat hidup dengan layak, aman, dan bermartabat.

Paradigma ini bukan sekadar slogan populis. Ia adalah panggilan untuk membalik orientasi negara dari pengendali menuju pelayan, dari simbol kekuasaan menuju lembaga pengabdian. Dalam konsep baru kenegaraan yang kini mulai diperjuangkan oleh sekolah Negarawan, pemerintah tidak lagi berdiri di atas rakyat. Tetapi bekerja di bawah mandat rakyat, dengan kedaulatan yang sepenuhnya berada di tangan mereka.

Rakyat sebagai Pemilik, Pemerintah sebagai Operator

Dalam teori politik klasik, rakyat adalah sumber kedaulatan. Namun dalam praktik bernegara, rakyat sering kali hanya menjadi “pemberi mandat” tanpa akses kontrol. Itulah sebabnya rancangan Undang-Undang Dasar baru dari sekolah Negarawan, menempatkan rakyat sebagai pemilik dan penguasa kedaulatan, sementara pemerintah hanya sebagai pelayan dan pengatur yang menjalankan fungsi administratif.

Negara dalam bentuk ini berperan layaknya sebuah korporasi pelayanan publik rakyat adalah pemegang saham, MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) adalah dewan pengawas strategis, dan pemerintah hanyalah manajemen operasional yang wajib mempertanggungjawabkan setiap kebijakan kepada rakyat melalui lembaga perwakilan sejati.

Paradigma ini sejalan dengan teori manajemen modern, sebagaimana diajarkan oleh Henry Mintzberg dan Henri Fayol, bahwa keberhasilan organisasi bergantung pada kemampuan struktur untuk melayani kepentingan stakeholder-nya. Dalam konteks negara, stakeholder tertinggi adalah rakyat, bukan partai, oligarki, atau birokrasi.

Negara Pelayan: Sintesis Sosialisme dan Manajemen Korporasi

Model pemerintahan pelayan rakyat bukanlah gagasan utopis. Ia merupakan sintesis antara teori sosialisme Karl Marx, yang menolak eksploitasi manusia oleh manusia melalui instrumen negara, dan teori manajemen kapitalis modern, yang menekankan efisiensi, akuntabilitas, dan orientasi hasil.

Negara yang ideal adalah negara yang mampu menyeimbangkan dua kutub itu: efisien seperti korporasi, tapi adil seperti komunitas. Ia mengelola sumber daya seperti perusahaan kelas dunia, namun mendistribusikannya seperti keluarga besar yang peduli pada setiap anggotanya.

Karena itu, birokrasi bukan lagi simbol hierarki, tapi sistem pelayanan publik terpadu. Kementerian bukan lagi alat kekuasaan, tapi unit operasional; dan presiden bukan lagi “raja administrasi,” tapi chief service officer yang memastikan seluruh rakyat terlayani tanpa diskriminasi.

Cak Nun: Pemerintah Adalah Buruh Rakyat, Bukan Majikan

Budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) pernah menegaskan dengan tajam bahwa pemerintah adalah buruh rakyat, bukan majikan. Dalam refleksi mendalam yang terekam dalam berbagai kesempatan dan tertuang dalam naskah panjang “Cak Nun: Pemerintah Itu Pelayan Rakyat”. Beliau mengingatkan bahwa seharusnya pemerintah sadar diri: mereka digaji rakyat, difasilitasi oleh rakyat, dan diangkat untuk melayani rakyat, bukan untuk memerintah seenaknya, apalagi merasa berjasa karena memberi “bantuan”.

Menurut Cak Nun, kesalahan bangsa ini bukan pada sistemnya semata, melainkan pada mentalitas pejabatnya yang lupa siapa tuannya. Pemerintah yang merasa lebih tinggi dari rakyat telah melanggar mandat konstitusional dan moral, sebab jabatan publik bukanlah singgasana, melainkan amanah pelayanan. Dalam bahasa sederhana Cak Nun, “Negara ini rumah rakyat, dan pemerintah hanyalah pekerja rumah tangga yang mengurus dapur, listrik, dan atapnya.”

Ruh Nusantara: Dari Ngayomi ke Ngawula

Dalam tradisi Nusantara, pemimpin yang baik bukan yang ditakuti, melainkan yang ngayomi (melindungi) dan ngawula (melayani). Nilai ini kini mendapatkan bentuk modern dalam konsep “Negara Pelayan Rakyat.”

Filosofi Jawa Sedulur Papat Lima Pancer menjadi kerangka spiritual dan budaya bagi tatanan politik ini: empat pilar penjaga negara yaitu kaum intelektual, kaum agama, TNI/Polri, dan kaum budaya, mengelilingi rakyat sebagai pusat kedaulatan.

Rakyat adalah pancer, sumber dari segala mandat dan arah kebijakan. Dengan demikian, pemerintahan bukan lagi sekadar mekanisme kekuasaan, melainkan sistem harmoni sosial yang dijiwai oleh kesadaran moral dan spiritualitas Nusantara.

Dari Kekuasaan Menuju Pengabdian

Negara yang adil tidak lahir dari banyaknya aturan, tapi dari kesadaran pemimpinnya bahwa kekuasaan adalah amanah untuk melayani. Pemerintah yang melayani bukanlah yang membangun citra, melainkan yang membangun kesejahteraan. Ia hadir dalam kesederhanaan, bekerja dalam keheningan, dan memberi hasil nyata bagi rakyatnya.

Kini, saatnya kita menulis ulang perjanjian kebangsaan. Rakyat bukan lagi objek kebijakan, tetapi subjek kedaulatan. Dan Pemerintah, sebagaimana semestinya hanyalah pelayan mereka.

Catatan Penulis:
Tulisan ini merupakan bagian dari gagasan besar reformasi kenegaraan berbasis nilai-nilai Pancasila, spiritualitas Nusantara, dan teori manajemen modern, menuju lahirnya konstitusi baru yang benar-benar berpihak kepada rakyat.