Dalam beberapa tahun terakhir, kritik terhadap proyek-proyek besar seperti PLTA Batang Toru sering dibugkam atau dibalas dengan tudingan “kampanye negatif”. Aktivis lingkungan dianggap anti-investasi, suara akademisi disebut mengganggu pembangunan, dan laporan organisasi sipil dip framing sebagai propaganda asing. Namun sementara kritik dibungkam, alam justru berbicara lebih lantang dari siapa pun melalui banjir bandang, longsor besar, dan hilangnya ribuan hektare hutan.
Pernyataan pejabat pusat, termasuk Luhut Binsar Pandjaitan, berkali-kali memojokkan LSM dan ilmuwan yang memperingatkan potensi kerusakan ekologis PLTA Batang Toru. Kritik disebut menghambat investasi, mengganggu citra nasional, dan bahkan dianggap sebagai upaya melemahkan bangsa.
Padahal fakta lapangan menunjukkan:
Yang mereka sebut “kampanye negatif” adalah hasil observasi ilmiah dan pengalaman masyarakat yang hidup berdampingan dengan alam yang terus berubah.
Jika kritik diabaikan, peringatan alam akan menjadi bentuk “evaluasi” yang jauh lebih menyakitkan.
Longsor dan banjir bandang yang melanda Tapanuli pada 2025 memperjelas satu fakta: kerusakan lingkungan di hulu memperbesar risiko bencana di hilir.
Bencana itu menunjukkan bahwa alam tidak beroperasi berdasarkan narasi pemerintah, tetapi berdasarkan realitas ekologis. Saat resapan air hilang, saat bukit dipapas, saat sungai dialihkan alam merespons dengan caranya sendiri.
Sayangnya, alih-alih melakukan introspeksi, sebagian pejabat justru menyederhanakan bencana sebagai akibat “cuaca ekstrem”, seakan-akan kerusakan yang diciptakan kebijakan tidak punya peran apa pun.
Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, turut mengadopsi pola serupa: menolak mengaitkan banjir dengan deforestasi dan menyalahkan hidrometeorologi sebagai satu-satunya sebab.
Dengan demikian, pola pusat dan daerah menyatu:
Namun masyarakat tahu: yang mereka hadapi bukan hanya hujan, melainkan buah dari kebijakan yang membiarkan ekosistem runtuh.
Menanggapi sikap anti-kritik pemerintah, Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute Prayogi R. Saputra menyampaikan pernyataan tegas:
“Tugas negara itu tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Tapi jika kritik dianggap musuh, negara justru menutup jalur penting untuk menjalankan ketiga tugas itu.”
Ia menambahkan bahwa kritik justru menjadi penolong negara agar tidak terperosok ke dalam kesalahan kebijakan.
“Alam tidak bisa disuap, tidak bisa dibantah. Jika pemerintah tetap menolak evaluasi, maka bencana akan menjadi koreksi yang paling keras.”
Partai X menawarkan langkah-langkah konkret untuk memastikan pemerintah tidak lagi menolak evaluasi ilmiah dan tanda bahaya ekologis:
Ketika pemerintah menolak kritik, itu bukan tanda kekuatan itu tanda bahwa pemerintah sedang menjauh dari kenyataan. Bencana di Sumatera adalah bukti bahwa alam selalu memberi sinyal sebelum runtuh.
Negara harus berubah arah bukannya membungkam kritik, tetapi mendengarnya sebagai bagian dari upaya menyelamatkan rakyat.
Karena pada akhirnya, kritik bukan kampanye negatif kritik adalah bentuk cinta pada bumi dan keselamatan manusia.