Berita

Tragedi Sumatera yang Terabaikan: Saat Bencana Tak Diakui
Berita Terbaru

Tragedi Sumatera yang Terabaikan: Saat Bencana Tak Diakui

Bencana besar yang melanda Sumatera di akhir tahun 2025 menyadarkan kita bahwa keserakahan pemerintah dan antek-anteknya punya harga mahal yang harus dibayarkan. Disaat ratusan korban meninggal dan hilang, ribuan terluka serta ratusan ribu mengungsi. Pemerintah pusat justru masih terasa tenang seolah semua baik-baik saja.

Bencana yang Tidak Dianggap Bencana

Per tanggal 3 Desember 2025, pada pukul 08.51, laman resmi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat korban meninggal telah mencapai 753 jiwa. Sementara 650 orang masih dinyatakan hilang, dan sekitar 2.600 jiwa lainnya terluka.

Meski demikian, di tanggal yang sama banjir Sumatera belum ditetapkan sebagai Bencana Nasional.  Kepala BNPB, Letjen TNI Suharyanto, secara eksplisit menyatakan bahwa status "Bencana Nasional" belum perlu ditetapkan. Menyamakan situasi ini dengan Gempa Cianjur dan Palu yang juga tidak berstatus bencana nasional.

Jika melihat kasus banjir Jakarta atau gempa di Jawa Barat, mekanisme respons pemerintah pusat bekerja dengan kecepatan penuh.

Presiden, menteri, hingga pimpinan lembaga tinggi negara segera hadir di lokasi, memastikan sorotan media tidak putus.

Sebaliknya, di Sumatera, meskipun korban jiwa melebihi 600 orang. Narasi yang dibangun oleh pemerintah pusat adalah "penanganan masih bisa dilakukan oleh daerah".

Tambang Maut di Tapanuli

Fakta bahwa tanah Sumatera tidak runtuh karena hujan semata. Melainkan karena ia lelah "dijejali" oleh izin industri yang melampaui daya tampung masih minim dibahas.

Tapanuli Raya, wilayah dengan angka kematian tertinggi (lebih dari 301 jiwa di Sumut saja), adalah bukti nyata dari saturasi investasi yang mematikan.

Hutan yang seharusnya menjadi payung pelindung rakyat telah dikapling habis-habisan.

Dokumen menunjukkan bahwa wilayah ini dipadati oleh konsesi Tambang Emas Martabe yang membentang seluas lebih dari 130.000 hektare dan proyek PLTA Batang Toru yang dipaksakan berdiri di zona gempa dan habitat satwa langka.

Demi mengejar "energi" dan "emas", pemerintah membiarkan hulu sungai dikupas habis. Hal ini menyisakan tanah terbuka yang siap meluncur menjadi bubur lumpur saat hujan datang.

Bukan Satwa Langka Tapi dilindungi

Bak kotak Pandora yang terbuka, berbagai nama mulai disebut dalam kritik publik terkait kebijakan yang dipandang mengutamakan “investasi di atas ekologi.”

Nama Luhut Binsar Pandjaitan mencuat sebagai figur sentral yang selama ini pasang badan membela proyek-proyek berisiko tinggi seperti PLTA Batang Toru.

Di tingkat daerah, Gubernur Bobby Nasution memperlihatkan sisi gelap birokrasi melalui politik penyangkalan.

Alih-alih mengevaluasi izin perusahaan perusak lingkungan. Ia berlindung di balik alasan "faktor cuaca", sebuah narasi yang melindungi oligarki lokal dari jeratan hukum.

Sikap ini adalah bentuk pembiaran yang fatal dimana peringatan dini diabaikan, dan rakyat dibiarkan menghadapi bencana tanpa persiapan. Seolah nyawa mereka lebih murah dibandingkan kelancaran operasional korporasi.

Rakyat Kehilangan Segalanya

Hari ini kita melihat Sumatera bukan hanya tenggelam, tapi dihantam oleh "peluru" buatan manusia.

Video viral memperlihatkan kayu-kayu gelondongan dari sisa penebangan hanyut bak peluru kendali, menghancurkan rumah-rumah yang dibangun dari keringat seumur hidup warga.

Kayu-kayu ini adalah bukti kejahatan kehutanan yang gagal ditutupi oleh pemerintah.

Ironi semakin tajam ketika bantuan negara tak kunjung datang.

Di Tapanuli Tengah, warga yang kelaparan terpaksa menjarah minimarket demi bertahan hidup.

Di saat rakyat bertaruh nyawa dan kehilangan keluarga, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian justru merespons dengan dingin, meminta mereka "bersabar" hingga masyarakat sendiri lah yang bahkan membuka "Open Donasi", seolah melepaskan tanggung jawab negara untuk mengurus warganya sendiri.

Kesunyian Media

Terakhir banjir ini mengungkap upaya sistematis untuk membungkam jeritan korban.

Ada fenomena "Dunia Terbalik" di mana bencana yang menewaskan ratusan orang di Sumatera dianggap angin lalu oleh media televisi nasional yang tersandera kepentingan segelintir orang.

Pemerintah terus menunda penetapkan status "Bencana Nasional" demi menutupi kegagalan proyek jahat mereka.

Bencana Sumatera 2025 adalah pengingat brutal bahwa keserakahan memiliki konsekuensi yang nyata dan berdarah. Apa yang disebut sebagai "pembangunan" oleh pemerintah, nyatanya adalah penggalian kuburan massal bagi rakyat kecil.

Kotak Pandora telah terbuka, dan isinya bukan sekadar air dan lumpur. Melainkan dakwaan keras terhadap sebuah sistem ketatanegaraan yang salah hingga menukar nyawa manusia demi keuntungan segelintir orang.

Solusi

Setelah melihat semua ini, jelas satu hal bahwa yang rusak bukan hanya alamnya… tapi sistemnya.

Dan untuk memperbaiki sistem, kita butuh para intelektual, tokoh agama, TNI/Polri, dan tokoh budaya duduk bersama untuk mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat.