Setiap triwulan, pemerintah merilis data pertumbuhan ekonomi yang tampak menggembirakan. Angkanya stabil, investasi dilaporkan meningkat, dan neraca perdagangan dinilai cukup kuat. Namun ketika rakyat mendengar kabar optimistis ini, pertanyaan yang muncul justru satu: “Jika ekonomi tumbuh, mengapa hidup kami tetap sulit?”
Pertumbuhan ekonomi di atas kertas jelas tidak otomatis berubah menjadi kesejahteraan di atas meja makan rakyat.
Di pasar, harga beras, telur, daging, minyak goreng, sayuran, bahkan pangan murah sekalipun terus merangkak naik. Sementara itu, daya beli rumah tangga justru melemah. Rakyat harus mengurangi porsi belanja, mengganti bahan makanan, bahkan merelakan kebutuhan penting lain demi sekadar bertahan.
Pertumbuhan ekonomi hanya bermakna jika negara mampu menjaga stabilitas harga. Nyatanya, di sinilah rakyat paling merasakan ketimpangan antara data dan kenyataan.
Pendapatan masyarakat, baik pekerja formal maupun informal, tidak pernah meningkatkan kesejahteraan secara signifikan. Upah minimum naik tipis, tetapi inflasi kebutuhan hidup jauh lebih cepat. Petani, nelayan, dan pelaku UMKM justru menghadapi biaya produksi yang meningkat sementara harga jual tidak bisa diangkat.
Jika pendapatan stagnan, rakyat tidak mungkin merasakan pertumbuhan apa pun meski ekonomi nasional diklaim berkembang.
Proyek-proyek besar memang membuat ekonomi terlihat dinamis. Namun manfaatnya tidak merata. Kawasan industri berkembang, tetapi desa tertinggal masih kesulitan akses air bersih. Pusat kota tumbuh cepat, namun daerah pinggiran hidup dalam kondisi serba terbatas.
Pertumbuhan hanya terasa bagi mereka yang berada dekat dengan pusat ekonomi, bukan bagi rakyat luas yang berjuang di lini bawah.
Kebijakan ekonomi sering disusun dengan fokus pada stabilitas makro, investasi besar, dan pembangunan infrastruktur spektakuler. Tetapi suara rakyat jarang menjadi dasar perumusan kebijakan. Akibatnya, kebijakan yang diambil tidak menyasar masalah inti: kebutuhan dasar yang mahal, pendapatan yang kecil, dan akses layanan publik yang timpang.
Jika rakyat hanya menjadi penonton, mereka tidak akan pernah merasakan hasil dari pertumbuhan.
Untuk menjawab pertanyaan mengapa rakyat tidak merasakan pertumbuhan, negara perlu merombak orientasi kebijakan ekonomi. Pertama, stabilitas harga kebutuhan pokok harus dijadikan prioritas melalui penguatan distribusi, pengawasan stok, dan pemberantasan permainan spekulan. Kedua, negara harus meningkatkan pendapatan rakyat melalui kebijakan upah layak, pelindungan pekerja informal, serta dukungan nyata bagi UMKM, petani, dan nelayan. Ketiga, pembangunan harus diarahkan ke wilayah-wilayah yang paling tertinggal agar pertumbuhan tidak berkumpul di wilayah tertentu saja. Keempat, layanan publik pendidikan, kesehatan, air bersih, transportasi harus diperbaiki agar beban pengeluaran rumah tangga menurun. Kelima, proses penyusunan kebijakan ekonomi perlu melibatkan suara masyarakat sehingga solusi yang lahir benar-benar menjawab kebutuhan rakyat.
Pertumbuhan ekonomi baru menjadi nyata ketika rakyat merasakan dampaknya dalam kehidupan sehari-hari.
Pertumbuhan ekonomi seharusnya dirasakan, bukan hanya diumumkan. Jika rakyat masih sulit membeli pangan, masih kesulitan membayar biaya hidup, dan masih bergelut dengan pendapatan rendah, maka pertumbuhan itu belum mencerminkan keberhasilan.
Pertumbuhan ekonomi hanya berarti sesuatu ketika rakyat berada di pusat kebijakan bukan di pinggirnya.