Berita

Dampak Ekonomi Rokok Resmi vs Rokok Bodong, Rakyat Sejahtera Mana?
Berita Terbaru

Dampak Ekonomi Rokok Resmi vs Rokok Bodong, Rakyat Sejahtera Mana?

Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute

beritax.id - Gudang Garam, salah satu raksasa industri rokok nasional, telah lama menjadi ikon ekonomi Kota Kediri. Namun, ironisnya, kehadiran perusahaan besar ini tidak mampu mendorong pertumbuhan ekonomi Kediri secara signifikan. Pada tahun 2024, pertumbuhan ekonomi Kota Kediri hanya mencapai 3,43%. Sebuah angka yang cukup rendah, terlebih jika dibandingkan dengan Kabupaten Pamekasan di Pulau Madura yang justru mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 4,88% pada tahun yang sama.

Fakta ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai mengapa daerah dengan industri rokok “resmi” yang begitu kuat, justru tertinggal dibanding daerah yang terkenal dengan industri rokok kecil atau rokok tanpa pita cukai (bodong)?

Membedah Paradoks Pertumbuhan

Kediri adalah rumah bagi salah satu pabrik rokok terbesar di Indonesia, Gudang Garam. Seharusnya, ini menjadi jaminan kemakmuran ekonomi daerah. Namun, angka pertumbuhan ekonomi menunjukkan sebaliknya. Rokok resmi yang dikenai pajak dan cukai tinggi justru tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan rakyat sekitar.

Di sisi lain, Pamekasan dan daerah lain di Madura, yang sering menjadi sorotan karena maraknya peredaran rokok tanpa cukai, justru mampu mencatat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Meski tak masuk sistem perpajakan formal, perputaran ekonomi sektor informal seperti industri rokok kecil memberikan efek langsung pada pendapatan masyarakat lokal.

Uang Rokok Mengalir ke Pusat, Bukan ke Rakyat

Kondisi ini menunjukkan bahwa hasil dari industri rokok resmi lebih banyak disedot ke pusat, melalui Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Bea dan Cukai. Uang cukai dan pajak rokok ditarik dari daerah, lalu dialokasikan ke pusat atau dikembalikan dalam bentuk Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT) yang porsinya sangat kecil jika dibandingkan kontribusi daerah penghasil.

Sementara itu, masyarakat lokal justru harus menghadapi dampak negatif seperti pencemaran, pekerja bergaji rendah, dan tekanan biaya hidup, tanpa ada distribusi keuntungan yang adil.

Rokok Bodong: Jalan Pintas Rakyat Bertahan Hidup?

Meskipun secara hukum tidak dibenarkan, keberadaan rokok bodong ternyata menjadi penopang ekonomi rakyat kecil. Banyak keluarga di Madura yang bergantung hidup dari industri rumahan ini, dari menggiling tembakau, membungkus, hingga mendistribusikan secara lokal.

Tidak ada pajak, tidak ada cukai, tapi ada perut yang kenyang dan anak yang bisa sekolah. Ini adalah realitas pahit dari sistem fiskal kita yang timpang. Ketika ekonomi formal terlalu menekan rakyat, maka ekonomi informal akan menjadi jalan pelarian.

Kesimpulan: Saatnya Koreksi Kebijakan Pajak dan Cukai

Pemerintah perlu melakukan introspeksi. Jangan hanya mengejar target pajak dengan memberangus sektor informal tanpa memberi solusi. Jika industri rokok resmi tak mampu menciptakan kesejahteraan lokal, maka ada yang salah dalam desain redistribusi fiskal kita.

Seperti kata Emha Ainun Nadjib (Cak Nun):
“Kalau rundown-nya manusia tidak sesuai dengan rundown-nya Tuhan, maka ujungnya pasti kehancuran.”
Begitu pula dalam ekonomi: jika kebijakan tidak sesuai dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Maka kebijakan itu hanya akan menciptakan ketimpangan dan kehancuran perlahan.