Berita

Saat Bencana Melanda, Penguasa Justru Mengejar Panggung
Berita Terbaru

Saat Bencana Melanda, Penguasa Justru Mengejar Panggung

Ketika bencana datang, banjir bandang dan longsor menghantam berbagai wilayah di Sumatera, terutama Tapanuli Raya yang mencatat korban jiwa tertinggi, publik menyaksikan ironi yang menyakitkan: rakyat berlarian menyelamatkan nyawa, sementara sebagian pejabat justru hadir dengan rombongan kamera, menampilkan aksi simpatik yang lebih mirip pencitraan ketimbang operasi penyelamatan.

Dalam laporan riset bencana Sumatera terungkap bahwa lebih dari 600 jiwa meninggal, ratusan hilang, dan hampir 600 ribu orang mengungsi. Namun skala bencana sebesar ini justru minim sorotan nasional dan direspons lambat oleh pemerintah pusat. Realitas di lapangan disenyapkan, sementara narasi di media arus utama tetap tenang seolah tragedi ini bukan krisis nasional.

Bencana Besar yang Tak Diakui

Riset menunjukkan bahwa banjir kali ini bukan sekadar hujan ekstrem. Ini adalah bencana energi tinggi: air bah membawa lumpur, batu, dan kayu gelondongan yang menghantam pemukiman. Temuan itu menunjukkan hancurnya hutan di hulu DAS akibat pembukaan lahan untuk tambang emas, PLTA Batang Toru, dan proyek-proyek besar lain yang sejak lama menggerus daya tahan alam Sumatera.

Dampaknya sangat mematikan, terutama di Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, dan Sibolga wilayah yang juga termasuk zona dengan konsesi industri terbesar. Namun meski korban sudah tembus ratusan, status Bencana Nasional tidak juga ditetapkan. Penolakan ini, menurut laporan riset, lebih bernuansa politis ketimbang teknis; status nasional berpotensi membuka pintu audit terhadap izin tambang, PLTA, dan konsesi yang selama ini dilindungi pejabat tertentu.

Ketimpangan Respons: Jawa Dapat Lampu Sorot, Sumatera Mendapat Sunyi

Salah satu temuan paling mencolok adalah ketimpangan perhatian antara Jawa dan luar Jawa. Bencana serupa dengan korban lebih sedikit di Jawa biasanya mendapat liputan 24 jam dan kunjungan pejabat pusat dalam hitungan jam. Sementara bencana Sumatera, yang merenggut lebih dari 600 nyawa, hanya diposisikan sebagai “masalah daerah”.

Minimnya kontrol media memperburuk keadaan. Televisi nasional lebih memilih tayangan sinetron dan debat ringan ketimbang berita darurat dari Sumatera. Keheningan ini membuat publik bertanya-tanya: sejak kapan ratusan jenazah menjadi berita kecil?

Bantuan yang Terlambat dan Rakyat yang Ditinggalkan

Keterlambatan distribusi bantuan tercatat nyata di lapangan. Di Tapanuli Tengah, warga terpaksa menjarah minimarket bukan karena kriminalitas, tetapi karena kelaparan akibat hari-hari tanpa logistik. Namun pejabat pusat justru menyebut peristiwa ini “karena warga lapar dan stok kurang” seolah persoalannya bukan kegagalan negara mengirim bantuan tepat waktu.

Di sisi lain, pemerintah malah membuka “open donasi” untuk korban, padahal negara memiliki APBN dan anggaran kebencanaan yang seharusnya langsung bergerak otomatis. Situasi ini memperlihatkan ironi: rakyat membiayai negara lewat pajak, tetapi negara meminta rakyat kembali merogoh kocek saat negara gagal bekerja.

Prayogi R. Saputra: Pemerintah Telah Lalai dari Tugasnya

Menanggapi kekacauan ini, Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X-Institute, Prayogi R. Saputra, memberi kritik keras:

“Tugas negara itu tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Tapi di Sumatera, yang kita lihat justru sebaliknya rakyat dibiarkan berjuang sendiri, sementara pejabat sibuk mencari sensasi.”

Prayogi menegaskan bahwa negara tidak boleh membiarkan bencana sebesar ini berjalan tanpa koordinasi nasional. Menurutnya, negara gagal menjalankan fungsi dasar ketika keselamatan rakyat tidak menjadi prioritas.

Solusi Partai X: Negara Harus Hadir Secara Nyata, Bukan Sekadar di Kamera

Partai X merumuskan langkah konkret agar tragedi seperti ini tidak berulang yaitu dengan cara mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat. Selanjutnya beberapa langkah dapat dilakukan, di antaranya:

1. Respons cepat tanpa pencitraan. Hentikan budaya kunjungan “show-up”, ganti dengan sistem komando darurat nasional yang langsung bergerak dalam 1–3 jam pertama.

2. Audit total perusahaan di hulu DAS. Perusahaan tambang, PLTA, dan perkebunan yang diduga menjadi penyebab pembukaan lahan harus diaudit dan, bila perlu, izinnya dicabut.

3. Transparansi penuh bantuan dan penggunaan anggaran. Semua distribusi logistik harus dipantau publik secara real time untuk mencegah korupsi dan penyelewengan.

4. Penetapan Bencana Nasional berbasis data, bukan kepentingan pejabat. Jika korban ratusan dan lintas provinsi, status nasional harus otomatis berlaku.

5. Rehabilitasi hutan dan penataan ulang tata ruang Sumatera. Hutan Bukit Barisan harus direstorasi agar kejadian serupa tidak terulang dalam skala yang lebih fatal.

Penutup: Rakyat Butuh Negara, Bukan Sensasi

Bencana Sumatera 2025 adalah pengingat keras bahwa negara tidak boleh berubah menjadi penonton, apalagi aktor pencitraan, di atas penderitaan rakyat.

Jika pemerintah ingin memulihkan kepercayaan publik, mereka harus mulai dari hal paling mendasar: hadir untuk rakyat, bukan untuk kamera.