Berita

Bencana Sumatera dan Sengkarut Tata Negara: Mengapa Amandemen Kelima UUD 1945 Tak Bisa Lagi Ditunda
Berita Terbaru

Bencana Sumatera dan Sengkarut Tata Negara: Mengapa Amandemen Kelima UUD 1945 Tak Bisa Lagi Ditunda

Oleh: Rinto Setiyawan , A.Md., S.H., CTP
Ketua Umum IWPI, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute

Setiap kali Sumatera dilanda bencana besar banjir, longsor, gempa, atau kabut asap pola yang sama selalu berulang: rakyat menjadi korban pertama, negara datang terlambat, dan setelah itu semuanya menguap tanpa pembenahan yang sungguh-sungguh. Yang berubah hanya angka korban dan tanggal kejadian; yang tetap adalah rasa frustrasi warga dan kegagapan negara.

Di titik ini, pertanyaannya bukan lagi sekadar: “Kenapa penanganan bencananya lambat?”
Pertanyaan yang lebih jujur adalah: “Ada yang salah apa dengan desain tata negara kita, sampai negara selalu gagap ketika rakyat berada di titik paling rentan?”

Jawabannya membawa kita pada satu kesimpulan pahit: tanpa perubahan mendasar di tingkat konstitusi Amandemen Kelima UUD 1945 bencana akan terus berulang, dan negara akan terus gagal lulus ujian paling dasar: melindungi rakyatnya.

Bencana Sumatera: Cermin Negara yang Tidak Punya Kompas

Bencana di Sumatera bukan sekadar peristiwa alam. Ia adalah cermin yang memantulkan:

  • Betapa rapuhnya koordinasi antara pusat dan daerah.
  • Betapa kaburnya garis tanggung jawab ketika skala bencana membesar.
  • Betapa lambatnya negara mengambil keputusan strategis—bahkan untuk hal sesederhana menaikkan status menjadi bencana nasional.

Setiap kali bencana besar terjadi, publik kembali menyaksikan drama klasik:

  1. Pemerintah daerah menjerit tak sanggup.
  2. Pemerintah pusat berhitung: “Ini cukup layak disebut bencana nasional atau tidak?”
  3. Sementara negara sibuk berdebat soal istilah dan level status, air tetap naik, tanah tetap longsor, asap tetap menyesakkan.

Label “bencana nasional” seolah menjadi barang mahal. Seakan-akan, jika status dinaikkan, negara dipaksa mengakui dua hal sekaligus: bahwa sistemnya gagal mencegah, dan bahwa ia harus bertanggung jawab penuh memulihkan. Di sinilah sengkarut tata negara itu terasa: konstitusi kita tidak memberi desain yang tegas tentang bagaimana negara harus bertindak ketika rakyat berada di ambang kehancuran.

Sengkarut Kewenangan: Negara yang Sibuk Mengatur Diri, Lupa Mengurus Korban

Masalah utama kita bukan hanya soal kapasitas teknis, tetapi arsitektur kekuasaan.

  1. Kedaulatan rakyat yang disandera partai politik
    UUD 1945 menyebut “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Dalam praktik, “rakyat” direduksi menjadi sekadar angka suara lima tahun sekali. Setelah itu, seluruh jalur pengambilan keputusan—termasuk kebijakan tata ruang, izin tambang, izin perkebunan, hingga tata kelola hutan—dikuasai aktor-aktor yang lahir dari sistem kepartaian yang elitis dan transaksional.
    Rakyat yang terdampak langsung bencana nyaris tidak punya posisi dalam struktur pengambilan keputusan itu.
  2. Fragmentasi lembaga dan tumpang tindih kewenangan
    Urusan bencana menyentuh banyak sektor: lingkungan hidup, kehutanan, pertambangan, infrastruktur, kesehatan, sosial, hingga keuangan negara. Namun lembaga-lembaga ini berjalan seperti pulau-pulau terpisah.
    Ketika bencana datang, negara tidak bergerak sebagai satu tubuh. Yang muncul justru tarik-menarik:
    • siapa yang berwenang menyatakan status,
    • siapa yang harus membayar,
    • siapa yang akan disalahkan jika audit nanti mengarah ke izin-izin bermasalah.
  3. Status bencana nasional sebagai keputusan (kejahatan) politik, bukan sepenuhnya mekanisme hukum yang objektif
    Di atas kertas, status bencana nasional mestinya ditentukan oleh indikator: luas dampak, jumlah korban, kerusakan, dan kapasitas daerah.
    Di lapangan, keputusan itu sering terasa sangat dilematis. Ada kekhawatiran: kalau diakui nasional, maka negara harus membuka data, membuka audit, dan mengakui kegagalan kebijakan—mulai dari tata ruang hingga pemberian izin yang mengabaikan daya dukung lingkungan.
    Akibatnya, status sering ditahan, ditawar, atau diaburkan. Rakyat menunggu kepastian; negara menghitung risiko politik.
  4. Rakyat menjadi objek bantuan, bukan subjek kedaulatan
    Selepas bencana, yang diperbanyak adalah paket bantuan, bukan mekanisme partisipasi. Warga dijadikan penerima logistik, bukan penentu arah kebijakan. Padahal mereka yang kehilangan rumah, tanah, dan masa depan mestinya punya suara paling keras ketika negara membahas:
    • “Apakah izin-izin di sekitar sungai dan hutan harus ditinjau ulang?”
    • “Apakah tata ruang harus dirombak?”
    • “Siapa yang harus bertanggung jawab?”

Semua ini menunjukkan satu hal: UUD 1945 dalam bentuknya sekarang belum memberi kerangka kelembagaan yang menjadikan rakyat sebagai pusat keputusan, terutama ketika nyawa dan ruang hidup mereka terancam.

Bencana Bukan Sekadar “Force Majeure”, Tapi Tes Moral dan Konstitusional

Di tingkat kontrak privat, bencana sering disebut sebagai force majeure: keadaan memaksa di luar kontrol para pihak. Tapi di tingkat negara, bencana tidak boleh berhenti pada istilah itu.
Bencana adalah tes moral dan tes konstitusional:

  • Moral, karena negara diukur dari seberapa cepat dan jujur ia melindungi yang paling lemah.
  • Konstitusional, karena di sinilah Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 28 (hak-hak asasi, termasuk hak atas rasa aman dan lingkungan hidup yang baik) diuji maknanya di dunia nyata.

Jika setiap kali bencana Sumatera terjadi, negara selalu terlambat, selalu defensif, selalu menghindari status nasional, dan selalu gagal membuka kebenaran tentang penyebabnya, maka sesungguhnya bukan hanya pemerintah yang gagal—konstitusi kita, dalam desain sekarang, juga sedang memperlihatkan keterbatasannya.

Mengapa Solusinya Harus Amandemen Kelima UUD 1945?

Apa yang bisa dilakukan konstitusi terhadap bencana? Bukankah bencana urusan teknis dan manajemen lapangan?

Jawabannya: konstitusi menentukan siapa memegang komando, siapa mewakili siapa, bagaimana pertanggungjawaban dibangun, dan seberapa jauh rakyat punya hak mengintervensi keputusan negara.

Tanpa perubahan di level UUD, kita hanya akan mengganti pejabat, mengganti peraturan teknis, tapi membiarkan arsitektur dasarnya tetap timpang.

1. Memulihkan makna sejati “kedaulatan rakyat”

Amandemen Kelima harus:

  • Mengembalikan kedaulatan rakyat dari sekadar slogan menjadi struktur kekuasaan nyata.
  • Menyediakan lembaga representasi rakyat non-partai atau mekanisme baru yang membuat warga—terutama kelompok rentan dan terdampak langsung bencana punya kanal untuk mempengaruhi keputusan strategis negara.
  • Menegaskan bahwa dalam perkara yang menyangkut keselamatan nyawa dan ruang hidup, suara warga terdampak tidak boleh kalah oleh lobi partai atau korporasi.

Tanpa itu, setiap kebijakan lingkungan, tata ruang, dan penanganan bencana akan terus lahir dari ruang tertutup, jauh dari orang-orang yang akan menanggung akibatnya.

2. Menata ulang arsitektur lembaga negara dalam keadaan darurat bencana

Amandemen Kelima perlu:

  • Menegaskan siapa yang memegang otoritas tertinggi ketika bencana lintas daerah terjadi bukan sekadar lewat UU biasa yang bisa berubah-ubah mengikuti kehendak elite.
  • Mengatur mekanisme otomatis ketika indikator tertentu tercapai: misalnya, ketika dampak sudah lintas provinsi, korban sudah di atas angka tertentu, atau kerusakan ekologis bersifat sistemik, maka:
    • negara wajib mengumumkan status tertentu,
    • wajib membuka data kepada publik,
    • dan wajib membentuk badan independen untuk menyelidiki penyebab dan merekomendasikan koreksi kebijakan.

Jadi, status “bencana nasional” bukan lagi hasil kalkulasi (kejahatan) politik, tetapi konsekuensi logis dari parameter yang disepakati secara konstitusional.

3. Menjamin hak rakyat atas kebenaran dan pemulihan

Bencana bukan hanya soal logistik dan pembangunan infrastruktur ulang. Ia juga soal hak atas kebenaran:

  • Siapa yang mengambil keputusan tata ruang?
  • Siapa yang memberi izin pembukaan lahan, tambang, atau pembangunan infrastruktur berisiko?
  • Siapa yang menutup mata terhadap rekomendasi ahli?

Amandemen Kelima harus:

  • Memperkuat hak konstitusional warga untuk mendapatkan informasi, menuntut audit kebijakan, dan menggugat negara ketika kelalaian atau kesengajaan kebijakan melahirkan bencana.
  • Menempatkan lingkungan hidup yang berkelanjutan dan keselamatan rakyat sebagai klausul eksplisit yang mengikat seluruh cabang kekuasaan bukan sekadar dijabarkan di UU biasa yang rentan dimanipulasi.

4. Membuka jalan bagi desain baru “politik darurat” yang berpihak pada rakyat

Selama ini, keadaan darurat sering dipahami sebagai alasan untuk memperluas kekuasaan negara dan mempersempit hak rakyat.
Amandemen Kelima justru harus membalik logika itu:

  • Dalam keadaan darurat bencana, negara boleh mendapat kemudahan prosedural, tetapi pada saat yang sama:
    • mekanisme pengawasan publik harus diperkuat,
    • akses rakyat terhadap informasi harus dibuka selebar-lebarnya,
    • dan jalur pertanggungjawaban baik administratif, politik, maupun hukum harus diperjelas sejak awal.

Dengan desain seperti ini, bencana tidak lagi menjadi ruang gelap bagi korupsi dana bantuan, permainan proyek, dan pencucian dosa kebijakan, tetapi menjadi momentum koreksi besar-besaran yang dikawal rakyat sendiri.

Sumatera: Alarm Keras yang Tidak Boleh Dimatikan

Bencana di Sumatera bukan sekadar “peristiwa lokal”. Ia adalah alarm nasional yang memberi tahu bahwa ada yang sangat salah dalam cara negara diatur.

  • Ketika rakyat mengungsi dari rumahnya, itu bukan hanya soal banjir atau longsor, tetapi tanda bahwa kedaulatan rakyat atas tanah dan ruang hidup telah direbut oleh keputusan-keputusan yang mereka tidak pernah benar-benar ikut menentukan.
  • Ketika pemerintah saling melempar tanggung jawab soal status bencana, itu menunjukkan bahwa tata negara kita gagal mendefinisikan siapa yang harus berdiri paling depan ketika rakyat dalam bahaya.

Selama kita hanya merespons bencana dengan paket bantuan dan konferensi pers, tanpa menyentuh akar masalah di tingkat konstitusi, kita sedang menerima bencana sebagai “biaya rutin” dari cara kita bernegara.

Penutup: Antara Keberanian Politik dan Kedaulatan Rakyat

Amandemen Kelima UUD 1945 sering dianggap wacana yang terlalu “besar”, terlalu teoritis, dan tidak mendesak. Faktanya, setiap kali banjir menggenangi kampung, setiap kali longsor menelan rumah, setiap kali asap menutup langit Sumatera, rakyat sedang membayar harga dari UUD yang membiarkan kedaulatan rakyat disubkontrakkan kepada oligarki dan jaringan kepentingan yang tidak pernah benar-benar bertanggung jawab.

Karena itu, pertanyaan yang seharusnya kita ajukan bukan lagi:

“Perlukah Amandemen Kelima UUD 1945?”

melainkan: “Berapa banyak lagi bencana dan nyawa yang harus menjadi korban sebelum kita berani mengubah cara negara ini diatur?”

Bencana di Sumatera telah memberi bukti yang lebih dari cukup: Amandemen Kelima UUD 1945 bukan lagi pilihan mewah, ia kebutuhan mendesak jika kita sungguh-sungguh ingin mengembalikan kedaulatan kepada pemiliknya yang sah: rakyat.