Di banyak daerah, termasuk Sumatra, bencana sudah lama tidak diperlakukan sebagai peristiwa luar biasa melainkan sekadar “gangguan administrasi” yang harus diselesaikan dengan laporan, rapat, dan revisi anggaran. Padahal saat pejabat sibuk menyusun berkas, warga sudah kehilangan rumah, mata pencaharian, bahkan keluarga. Yang lebih ironi, dalam setiap siklus bencana, selalu ada anggaran yang tiba-tiba bergeser arah: dari mitigasi ke proyek lain, dari penanggulangan ke program yang jauh dari kebutuhan mendesak. Di sinilah terlihat wajah lama birokrasi: bencana dibiarkan, anggaran dibelokkan.
Bencana Sumatra menunjukkan bahwa akar persoalan berada pada kerusakan hulu DAS. Hutan digantikan oleh perkebunan besar dan proyek energi; lereng dipotong jalur air alami direkayasa demi kepentingan investasi.
Namun, alih-alih mengalokasikan anggaran besar untuk memperbaiki hulu yang kritis, pemerintah lebih sering mengarahkan anggaran ke pembangunan yang bersifat kosmetik peninggian trotoar, pembukaan jalan baru, hingga proyek yang tidak berkaitan dengan mitigasi sama sekali.Akibatnya? Bencana berulang dan rakyat kembali menjadi korban.
Riset mencatat lebih dari 600 korban meninggal, ratusan hilang, dan ratusan ribu terdampak. Tetapi skala bencana sebesar ini tidak mendorong perubahan kebijakan yang signifikan. Negara tetap menahan peningkatan status bencana, seakan enggan mengakui bahwa masalah ini tidak bisa ditangani oleh daerah sendirian. Yang ironis, anggaran penanganan bencana justru banyak dialihkan ke pos lain, sementara desa-desa masih terisolasi tanpa bantuan selama berhari-hari. Negara menunda tindakan, tetapi rakyat tidak punya waktu untuk menunggu.
Ketika liputan minim, pengawasan publik terhadap anggaran menjadi lemah. Kondisi ini membuka ruang bagi pembelokan anggaran yang sulit dilacak:
Bencana yang seharusnya menjadi alarm peringatan malah menjadi peluang untuk bermain di celah anggaran.
Banyak rekomendasi ahli mulai dari perbaikan hulu, pengendalian erosi, hingga evaluasi izin industri tidak pernah masuk dalam prioritas anggaran. Kebijakan hanya bergerak di atas kertas, bukan di lapangan.
Selama pendekatan birokrasi tidak berubah, wajah kebijakannya mungkin baru, tetapi pola yang dipertahankan tetap lama.
Untuk menghentikan pola bencana yang dibiarkan dan anggaran yang dibelokkan, negara harus mengubah cara kerja dan prioritasnya:
Bencana Sumatra hanyalah contoh terbaru dari masalah struktural: ketika alam hancur, rakyat menderita ketika rakyat menderita, anggaran justru melenceng dari tujuannya.
Jika negara ingin memutus rantai ini, maka langkah pertama adalah mengembalikan anggaran ke jalurnya untuk melindungi rakyat, bukan untuk kepentingan lain yang dibungkus atas nama pembangunan.