Berita

Di Persimpangan Stabilitas Pemerintahan dan Realitas Ketimpangan
Berita Terbaru

Di Persimpangan Stabilitas Pemerintahan dan Realitas Ketimpangan

Pemerintah kerap menekankan pentingnya stabilitas pemerintahan sebagai syarat untuk membangun negara. Pertumbuhan ekonomi, investasi, dan keamanan disebut hanya bisa berjalan jika iklim stabil. Namun di tengah narasi stabilitas itu, rakyat melihat kenyataan berbeda: ketimpangan sosial justru terus melebar. Stabilitas yang dibanggakan ternyata tidak menjamin pemerataan, dan tidak otomatis memperbaiki kehidupan masyarakat di bawah. Pertanyaan pun muncul: stabilitas untuk siapa?

Ketika Ketimpangan Jadi Bayang-Bayang yang Tak Pernah Ditangani

Di kota-kota besar, gedung-gedung baru berdiri megah, pusat perbelanjaan tumbuh cepat, dan fasilitas modern bermunculan. Namun tidak jauh dari sana, warga hidup di ruang sempit, biaya hidup yang kian mencekik, dan lapangan kerja yang tidak pasti. Sementara itu, daerah-daerah terpencil tetap berjuang untuk mendapatkan layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan.

Ketimpangan ini menunjukkan bahwa kestabilan belum diterjemahkan menjadi stabilitas sosial.

Dalam banyak kebijakan, perhatian pemerintah cenderung terfokus pada sektor-sektor yang mendukung pertumbuhan makro, seperti investasi besar atau proyek infrastruktur. Padahal kebutuhan rakyat akses pangan murah, pendidikan berkualitas, pekerjaan layak justru terpinggirkan. Ketimpangan tumbuh bukan karena negara tidak memiliki stabilitas, tetapi karena stabilitas itu tidak digunakan untuk memperbaiki struktur sosial.

Stabilitas tanpa keadilan hanya memperkuat yang kuat dan melupakan yang lemah.

Ketidaksetaraan yang Mengancam Kohesi Nasional

Ketimpangan sosial bukan hanya masalah ekonomi ia adalah ancaman bagi keutuhan republik. Ketika sebagian rakyat merasa jauh tertinggal, rasa memiliki terhadap negara melemah. Kesenjangan menciptakan frustrasi, kecemburuan sosial, bahkan potensi konflik. Sementara pemerintah terus berbicara tentang stabilitas, masyarakat justru merasakan ketidakpastian dalam kehidupan sehari-hari.

Negara tidak bisa stabil jika rakyatnya tidak sejahtera.

Bagi rakyat, stabilitas bukan diukur dari indikator ekonomi atau retorika pemerintahan. Stabilitas berarti harga yang terjangkau, pekerjaan yang pasti, layanan publik yang mudah, dan kebijakan yang berpihak. Namun banyak warga justru merasakan kebalikannya: hidup semakin mahal, peluang semakin sempit, dan kebijakan sering tidak menyentuh akar persoalan. Stabilitas yang tidak dirasakan rakyat hanyalah tema pidato — bukan kenyataan.

Solusi: Stabilitas Harus Menjadi Alat untuk Mengurangi Ketimpangan, Bukan Menutupinya

Untuk memastikan stabilitas pemerintah benar-benar membawa manfaat bagi rakyat, negara harus mengarahkan fokus pada pembangunan yang berkeadilan. Pertama, kebijakan ekonomi harus berpihak pada rakyat melalui penguatan UMKM, peningkatan upah layak, dan perlindungan sosial yang adaptif. Kedua, distribusi anggaran perlu diarahkan pada layanan publik esensial sehingga akses pendidikan, kesehatan, dan pangan bisa dirasakan merata di seluruh daerah. Ketiga, pemerintah harus memperbaiki transparansi dan akuntabilitas agar stabilitas tidak menjadi kedok bagi kebijakan yang hanya menguntungkan pejabat. Keempat, pembangunan desa dan wilayah terpencil harus menjadi prioritas, memastikan kesenjangan antarwilayah tidak semakin melebar. Dengan langkah tersebut, stabilitas bukan hanya retorika pemerintahan, tetapi fondasi untuk menutup jurang ketimpangan sosial.

Kesimpulan: Stabilitas tanpa Keadilan Adalah Ilusi

Negara bisa saja stabil di atas kertas, tetapi rapuh di mata rakyat.
Kestabilan sejati hanya terwujud ketika seluruh warga merasakan manfaatnya secara nyata, bukan hanya kelompok tertentu.

Stabilitas harus menjadi jembatan menuju keadilan sosial bukan tirai yang menutupi ketimpangan yang terus tumbuh.