Indonesia sering dibanggakan sebagai negeri yang kaya raya. Dari tambang emas, nikel, batu bara, minyak dan gas, sampai hutan tropis dan laut yang luas, kita diajarkan sejak kecil bahwa bumi pertiwi ini “gemah ripah loh jinawi”. Namun kalau kita melihat cara negara dibiayai dan cara alam dikelola hari ini, muncul pertanyaan yang pahit: untuk siapa sebenarnya semua kekayaan itu bekerja?
Di satu sisi, sekitar 80-an persen pendapatan negara bergantung pada pajak. Artinya, beban utama pembiayaan negara dipikul oleh rakyat—baik sebagai konsumen, pekerja, maupun pelaku usaha kecil. Di sisi lain, kekayaan alam dikuras habis-habisan, diekspor dalam bentuk bahan mentah atau semi-mentah, meninggalkan jejak kerusakan ekologis yang panjang: banjir, longsor, kekeringan, pencemaran, hingga konflik agraria.
Dalam lanskap seperti ini, wajar jika muncul frasa yang tajam:
rakyat diperas, alam dikuras.
Kekayaan Alam Melimpah, Pajak Tetap Mencekik
Secara logika sederhana, negara dengan kekayaan alam berlimpah seharusnya tidak menggantungkan diri secara berlebihan pada pajak. Kekayaan alam—yang secara konstitusional dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat—semestinya menjadi salah satu sumber utama penerimaan: lewat tata kelola yang adil, transparan, dan berkelanjutan.
Namun kenyataannya, struktur APBN menunjukkan ketergantungan yang sangat besar pada pajak. Rakyat dikenai pajak penghasilan, PPN, cukai, pajak daerah, dan berbagai pungutan lain. Sementara banyak proyek ekstraksi sumber daya alam:
Akibatnya, pemerintah “malas” mengurus kebocoran dan ketidakadilan dalam sektor sumber daya alam, dan memilih jalan yang lebih mudah: memeras lebih banyak dari kantong rakyat yang sudah lelah.
Rakyat dipaksa “berhemat”, sementara pemerintah dan korporasi sering tidak.
Ketika penerimaan pajak turun, yang didorong adalah intensifikasi dan ekstensifikasi pajak: cari kelas menengah baru, cari objek baru, tambal defisit dengan instrumen yang itu-itu juga.
Padahal, di saat yang sama, miliaran hingga triliunan potensi penerimaan dari tambang ilegal, tumpang tindih izin, manipulasi produksi, dan praktik rente sering dibiarkan menguap.
Alam Dikuras, Bencana Dilegalkan
Dampak dari pola “alam dikuras” ini tidak berhenti di neraca keuangan negara. Ia mewujud dalam bentuk bencana ekologis yang semakin sering dan parah.
Hutan yang habis membuka jalan bagi:
Tambang yang dibiarkan tanpa reklamasi melahirkan:
Laut yang tercemar dan pesisir yang direklamasi serampangan memukul:
Semua itu secara formal sering diberi label “bencana alam”. Padahal, jika ditelusuri ke belakang, bencana tersebut bukan sekadar peristiwa alamiah, melainkan konsekuensi dari pilihan-pilihan kebijakan yang membenarkan pengurasan alam tanpa batas.
Ketika izin-izin ekstraksi diterbitkan tanpa kajian ekologis yang serius, ketika pengawasan lemah, ketika pelanggaran dibiarkan selama masih ada setoran ke atas, maka sesungguhnya pemerintah sedang melegalkan bencana di masa depan.
Rakyat yang akan menanggungnya: kehilangan rumah, kehilangan tanah, kehilangan penghidupan.
Rakyat Membayar Dua Kali
Dalam struktur yang timpang ini, rakyat sebenarnya membayar dua kali.
Pertama, sebagai pembayar pajak.
Mereka ikut menutup defisit, membiayai infrastruktur, menggaji aparat, dan membayar bunga utang. Mereka patuh mengisi SPT, membayar PPN saat belanja, dan menerima bahwa sebagian penghasilan akan selalu dipotong.
Kedua, sebagai korban kerusakan lingkungan.
Mereka:
Ironisnya, mereka yang menikmati keuntungan terbesar dari pengurasan alam jarang membayar harga sosial dan ekologisnya secara penuh.
Biaya itu disosialisasikan kepada masyarakat luas, sementara keuntungannya diprivatisasi ke rekening yang jumlahnya tak seberapa dibanding total penduduk.
Pemerintah yang Gagal Menjadi Wasit dan Penjaga
Dalam teori, pemerintah harus berperan sebagai wasit yang adil dan penjaga amanah konstitusi.
Wasit yang memastikan bahwa “pertandingan ekonomi” tidak menginjak-injak yang lemah. Penjaga yang memastikan bahwa “bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” bukan cuma kalimat indah di pembukaan buku pendidikan Pancasila.
Tetapi ketika pemerintah:
maka fungsinya bergeser dari wasit menjadi broker, dari penjaga menjadi penonton yang diuntungkan.
Rakyat merasakan pemerintah hadir keras saat urusan pajak dan regulasi kecil-kecilan, tapi menghilang atau melunak ketika berhadapan dengan mereka yang menguras alam dalam skala besar.
Menggeser Beban, Mengubah Cara Pandang
Jika kita sepakat bahwa “rakyat diperas, alam dikuras” adalah diagnosis yang tepat, maka terkandung di dalamnya tuntutan perubahan yang sangat mendasar dalam cara negara dibiayai dan cara alam dikelola.
Beberapa prinsip yang mestinya diperjuangkan:
Menata Ulang Kontrak Sosial
Pada akhirnya, frasa “rakyat diperas, alam dikuras” adalah kritik terhadap kontrak sosial yang pincang.
Kontrak yang seharusnya berbunyi: rakyat mempercayakan sebagian kedaulatan dan kekayaannya kepada pemerintah untuk diatur demi kebaikan bersama.
Namun dalam praktik, kontrak itu terasa berubah menjadi: rakyat menyerahkan keringat, alam menyerahkan tubuhnya, sementara keuntungan terakumulasi di lingkaran yang itu-itu juga.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, kita bukan hanya sedang mengabaikan keadilan sosial hari ini, tetapi juga merampas hak generasi yang akan datang atas lingkungan hidup yang layak dan negara yang adil.
Sudah saatnya kita menagih ulang janji konstitusi:
bahwa kekayaan alam bukanlah ATM kelompok tertentu, dan rakyat bukanlah sumber dana tak terbatas yang bisa terus diperas.
Pemerintah harus berani membalik keadaan: membela rakyat, menjaga alam, dan menertibkan keserakahan.
Jika tidak, sejarah akan mencatat generasi ini sebagai generasi yang gagal: di atas tanah yang kaya, kita membiarkan rakyat tetap diperas dan alam terus dikuras.