Ada yang aneh setiap kali kita berdiri di depan Benteng Vredeburg. Bangunannya gagah, temboknya tebal, catnya rapi. Dari jauh kelihatan seperti simbol ketertiban dan keamanan. Tapi Cak Nun pernah menaruh “bom waktu” di kepala kita lewat satu kalimat sederhana:
“Benteng itu dulu membentengi siapa dari ancaman siapa?”
Kalimat itu seperti notifikasi yang nggak bisa di-mute. Karena begitu kita mikir, jawabannya pahit: dulu yang dibentengi itu penguasa, yang dianggap ancaman itu rakyat. Dan kalau kita jujur, pola itu kok rasanya belum pensiun juga di zaman sekarang.
Cak Nun juga pernah nyeletuk: ada negara di mana rakyat menggaji pemerintah supaya hidup dan kerja mereka aman, tapi justru rakyat yang diancam. Pemerintah bayaran, katanya, bukan sibuk mikir “awas kalau ada yang mengancam rakyat”, tetapi justru sibuk mikir “awas kalau rakyat mengancam”. Akibatnya, rakyat dipelototi, dipantau, dicurigai. Kalau bersuara sedikit, langsung diingatkan bahwa negara punya “Kiai Perppu” dan saudara-saudaranya.
Di titik ini, logika kita sebenarnya cuma diminta lulus SD. Pemerintah itu digaji pakai apa? Pajak siapa? Uang siapa yang disedot tiap beli sabun, bensin, pulsa, mie instan? Uang rakyat.
Gaji pejabat, tunjangan, rumah dinas, mobil plat merah, pengawalan, perjalanan dinas: semua dari keringat orang yang nanti kalau telat bayar pajak malah disurati, kalau demo malah dibentak.
Secara teori, pemerintah adalah “pelayan publik”. Dalam praktik, sering berubah jadi “publik yang disuruh melayani pemerintah”. Rakyat dibayangkan sebagai pengganggu: kalau diam, dibilang “sudah kondusif”; kalau kritis, dibilang “meresahkan”.
Ruang kritik dipersempit pelan-pelan, tentu saja “demi ketertiban”. Ruang dialog dipangkas, diganti talk show sepihak. Sementara itu, ruang kekuasaan makin tebal: lembaga baru, badan baru, satgas baru, seragam baru yang kerja utamanya sering kelihatan seperti: memastikan rakyat tidak terlalu cerewet.
Benteng yang mestinya menghadap keluar, sekarang seolah menghadap ke dalam. Yang diawasi bukan ancaman terhadap rakyat, tapi suara rakyat yang dianggap ancaman. Dari sinilah istilah “pemerintah bayaran” terasa pas: digaji rakyat, tapi kerjanya mengamankan kepentingan lain dulu, baru rakyat kalau sempat.
Bayangkan kalau sebuah perusahaan memperlakukan pelanggan seperti teroris potensial.
Komplain dianggap makar, kritik dianggap serangan, minta transparansi dianggap kurang ajar. Perusahaan seperti ini tidak butuh pesaing untuk bangkrut — dia cukup meladeni dirinya sendiri. Nah, negara yang memperlakukan rakyatnya begitu bedanya cuma satu: dia tidak langsung bangkrut, tapi pelan-pelan kehilangan legitimasi.
Masalah ini juga bukan sekadar soal oknum pejabat yang baper. Ini soal software mental yang masih feodal, di-install di sistem bernama republik.
Jabatan diperlakukan seperti kasta.
Pejabat merasa otomatis lebih mulia dari warga biasa, hanya karena ada namanya di papan dan fotonya di dinding.
Kritik dianggap penghinaan, bukan masukan. Padahal di negara yang mengaku demokrasi, kritik itu vitamin, bukan racun. Kalau pemerintah alergi kritik, berarti imunnya masalah bukan vitaminnya yang salah.
Lebih runyam lagi ketika hukum dijadikan pentungan. Aturan bukan lagi pagar yang melindungi semua, tapi tongkat yang siap diayunkan ke arah yang salah: ke bawah, bukan ke atas.
Peraturan, Perppu, pasal-pasal karet: semua bisa menjelma “Kiai Perppu” versi Cak Nun sakti mandraguna, selalu turun dari langit setiap penguasa panik menghadapi rakyatnya sendiri.
Padahal ukuran pemerintah yang sehat itu gampang sekali. Bukan seberapa sering aparat pamer kekuatan, bukan seberapa tebal kawat berduri di depan kantor, bukan seberapa sering pasal “kebencian” dan “hoaks” dinyanyikan.
Pertanyaannya cuma: rakyat merasa lebih aman atau lebih takut? Lebih dipermudah atau lebih dipersulit? Lebih dilindungi atau lebih diawasi?
Kalau jawabannya: rakyat makin takut, makin ribet, makin diawasi, maka mungkin yang sedang kita lihat bukan negara, tapi sekumpulan benteng yang salah arah.
Karena itu PR kita sederhana tapi susah: membalik lagi arah benteng.
Kalau kita sungguh percaya bahwa republik ini milik rakyat, maka yang harus paling dijaga adalah hidup rakyat. Yang harus pertama dibentengi adalah kerja rakyat. Yang paling dilindungi adalah martabat rakyat. Sisanya fasilitas pejabat, gengsi jabatan, kenyamanan kekuasaan—itu nomer sekian.
Persis seperti pesan Cak Nun: fokus pemerintah seharusnya bukan “rakyat ancaman”, tapi “siapa yang mengancam rakyat”.
Pengangguran mengancam rakyat.
Harga mahal mengancam rakyat.
Korupsi, kebijakan ngawur, dan aparat yang brutal itu semua mengancam rakyat.
Begitu pemerintah lebih takut pada rakyat daripada pada ketidakadilan, kita tahu ada yang terbalik. Benteng yang semestinya jadi pelindung berubah jadi tembok batin yang memisahkan penguasa dari yang menguasakan.
Dan saat pemerintah mulai sibuk melindungi diri dari rakyat yang menggajinya, satu hal jadi jelas: bukan rakyat yang berbahaya, melainkan kekuasaan yang lupa diri.