Berita

Saat Keadilan Terkalahkan oleh Kuasa Kekayaan
Berita Terbaru

Saat Keadilan Terkalahkan oleh Kuasa Kekayaan

Hukum cuma murah buat yang punya duit, tapi jadi super mahal buat yang nggak punya apa-apa. Padahal, bukankah hukum seharusnya berdiri untuk semua? Kalau keadilan bisa dibeli, itu artinya bukan lagi keadilan.

Karena keadilan yang nyata bukan soal siapa punya saldo tebal, tapi soal semua orang bisa merasakan perlindungan yang sama. Selama hukum masih dijadikan barang dagangan, jangan heran kalau rakyat kecil selalu jadi korban, sementara yang kaya bisa tidur nyenyak di balik tameng uangnya.

Hukum Murah untuk Kaya, Mahal untuk Miskin

Ada pepatah klasik: “Semua orang sama di depan hukum.” Kedengarannya sederhana, tapi Indonesia sekarang ini tidak bisa. Hukum lentur di hadapan mereka yang kaya, tapi kaku dan keras terhadap mereka yang miskin.

Bayangkan dua orang melakukan kesalahan yang sama. Yang satu punya banyak uang, yang lain hanya pekerja biasa yang bahkan kesulitan membayar makan sehari-hari. Proses hukumnya akan berbeda.

Si kaya punya pengacara top, bisa bernegosiasi, bisa “melicinkan” jalannya kasus. Akhirnya hukuman ringan atau bahkan bisa bebas.

Si miskin? Ia harus berhadapan sendirian, dengan biaya perkara yang mahal, tanpa akses ke pembelaan yang layak. Hasilnya sudah bisa ditebak: vonis berat jatuh kepadanya. Lalu di mana letak keadilan yang katanya sama untuk semua itu?

Hukum Jadi Barang Dagangan

Kita sering mendengar istilah “mafia peradilan.” Dari kasus besar sampai kasus kecil, ada saja cerita bagaimana hukum dipermainkan. Uang bisa mengubah dakwaan, mempengaruhi putusan, atau sekadar membuat perkara menguap tanpa kabar.

Lembaga hukum yang seharusnya jadi benteng terakhir keadilan malah terlihat seperti mesin yang bisa disewa. Bukan hanya merusak citra, tapi juga menghancurkan kepercayaan rakyat pada negara.

Rakyat kelas menengah ke bawah jadi korban berlapis. Pertama, korban dari tindak pidana yang mungkin menimpa mereka. Kedua, korban dari sistem hukum yang tidak berpihak. Ketiga, korban stigma sosial, karena masyarakat sering kali langsung menilai mereka bersalah hanya karena tak mampu membela diri.

Inilah ketidakadilan paling menyakitkan adalah hukum bukan lagi alat pelindung, tapi palu yang menghantam yang lemah.

Harapan akan Keadilan yang Sejati

Kalau dibiarkan, sistem seperti ini tidak hanya membuat masyarakat apatis. Pertanyaan besar muncul, jika hukum tidak bisa dipercaya lalu ke mana rakyat harus mencari keadilan. Apakah mereka harus menggantungkan nasib pada opini publik di media sosial, atau memilih jalan berbahaya dengan main hakim sendiri. Itu tanda jelas kegagalan negara hukum.

Padahal keadilan sejati sederhana. Ia bukan soal siapa yang punya uang lebih banyak, melainkan soal siapa yang benar dan siapa yang salah. Keadilan adalah rasa aman, rasa dilindungi, dan rasa diperlakukan sama di hadapan hukum.

Masih ada aparat hukum yang jujur dan bekerja dengan hati nurani, tetapi sistem yang bobrok membuat suara mereka sering tenggelam. Pertanyaannya sekarang, apakah kita akan terus membiarkan hukum jadi komoditas yang bisa dibeli, atau berani menuntut agar hukum kembali pada tujuan aslinya, yaitu rumah keadilan bagi semua rakyat.

Solusi Partai X

Partai X percaya, masalah hukum di negeri ini tidak bisa diselesaikan dengan cara-cara setengah hati. Perlu perubahan besar yang benar-benar mengembalikan hukum untuk rakyat.

Kita mulai dengan Musyawarah Kenegarawanan Nasional yang melibatkan empat pilar bangsa, yaitu kaum intelektual, tokoh agama, TNI Polri, dan pelaku budaya. Dari sinilah lahir arah baru untuk menata ulang negara.

Amandemen Kelima UUD 1945 harus dibuat supaya kedaulatan kembali ke tangan rakyat. Untuk mengawal masa transisi, dibentuk MPRS sementara agar semua berjalan jujur dan terbuka.

Negara juga harus dipisahkan dari pemerintah. Pemerintah bisa jatuh kapan saja, tapi negara harus tetap kokoh. Pancasila harus dijalankan sebagai pedoman nyata, bukan sekadar slogan. Partai politik yang gagal mendidik rakyat dibubarkan, lalu diverifikasi ulang supaya hanya yang sehat yang bisa bertahan.

Hukum juga harus direformasi total berbasis kepakaran. Putusan harus berdiri di atas kebenaran, bukan uang. Birokrasi harus digital, supaya korupsi terputus dan pelayanan publik lebih transparan.

Generasi muda perlu dibekali pendidikan moral dan politik berbasis Pancasila sejak sekolah. Nilai ini harus disebarkan lewat TV, radio, media online, dan media sosial negara agar sampai ke seluruh rakyat.

Dengan cara ini, hukum tidak lagi jadi tameng pejabat atau mainan orang kaya. Hukum kembali jadi pelindung rakyat. Karena keadilan sejati bukan soal siapa yang kuat atau kaya, tapi keberanian negara menegakkan kebenaran tanpa pandang bulu.