Berita

Keterlambatan Status Darurat dan Lumpuhnya Respons Kepemimpinan
Berita Terbaru

Keterlambatan Status Darurat dan Lumpuhnya Respons Kepemimpinan

Dalam situasi bencana, setiap jam memiliki nilai yang setara dengan nyawa. Namun di Sumatera Utara, ketika banjir besar dan longsor melanda Tapanuli dan sekitarnya pada 2025, pemerintah provinsi justru bergerak paling lambat. Alat berat tertahan, dana darurat tidak cair, dan ribuan warga terisolasi bukan semata karena cuaca ekstrem tetapi karena kepemimpinan yang mandek ketika rakyat membutuhkan kecepatan. Hal ini menggambarkan kenyataannya status darurat terlambat, bantuan pun terhambat. Dan pada titik itu, bencana yang seharusnya bisa ditangani lebih cepat berubah menjadi derita berkepanjangan.

Narasi Penyangkalan: Ketika Gubernur Menutup Mata dari Akar Masalah

Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, menjadi sorotan publik karena memilih narasi penyangkalan alih-alih menghadapi fakta. Ia menegaskan bahwa banjir yang menghancurkan Tapanuli disebabkan murni oleh cuaca ekstrem. Sikap ini menyingkirkan faktor deforestasi dan pembukaan lahan yang jelas-jelas memperparah dampak bencana.

Ketika pemimpin daerah menolak mengakui hubungan antara kerusakan ekologi dan bencana, ruang evaluasi terhadap perusahaan perusak lingkungan otomatis tertutup. Narasi ini bukan sekadar kesalahan analisis ini adalah bentuk perlindungan terhadap oligarki lokal.

Keterlambatan yang Mengorbankan Warga

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumut mencatat dengan tegas bahwa Bobby terlambat menetapkan status tanggap darurat, padahal tanda-tanda bencana sudah terlihat berhari-hari.
Keterlambatan ini bukan hanya persoalan administrasi; ia memiliki konsekuensi langsung:

  • dana tanggap darurat tidak bisa disalurkan cepat,
  • alat berat terhambat masuk,
  • jalur evakuasi tidak segera dibuka,
  • dan ribuan warga terjebak tanpa bantuan.

Bencana tidak menunggu, tetapi pemerintah provinsi justru membiarkan waktu terbuang.

Pembiaran Korporasi dan Takut Mengusik Kepentingan

Desakan WALHI agar pemerintah mencabut izin tujuh perusahaan yang dianggap berkontribusi pada kerusakan lingkungan, termasuk Toba Pulp Lestari dan tambang emas Martabe, tidak mendapat respons berarti. Tidak ada pencabutan izin, tidak ada pembekuan aktivitas, tidak ada tindakan korektif.

Ketika pemimpin daerah lebih berhati-hati terhadap kepentingan bisnis besar dibanding keselamatan rakyatnya, maka fungsi negara sebagai pelindung kehilangan makna.

Pembiaran ini memperkuat kesan bahwa kepemimpinan provinsi menjadikan korporasi sebagai “partner” yang harus dijaga, bukan sebagai subjek pengawasan yang harus dikontrol.

Rinto Setiyawan: “Kepemimpinan yang Mandek Adalah Bentuk Kelalaian Negara”

Menanggapi situasi ini, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menegaskan:

“Tugas negara itu tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Jika status darurat saja ditetapkan terlambat, maka ketiga tugas itu gagal seluruhnya.”

Ia menekankan bahwa negara tidak boleh kalah cepat dari bencana.

“Bencana tidak menunggu. Ketika pemerintah lambat, rakyatlah yang membayar dengan nyawa. Ini bukan sekadar salah urus ini adalah kegagalan moral dalam kepemimpinan.”

Rinto mendesak agar pemerintah daerah berhenti melindungi kepentingan korporasi dan mulai memprioritaskan keselamatan masyarakat.

Solusi: Kepemimpinan yang Sigap, Kebijakan yang Tegas

Partai X menawarkan langkah-langkah konkret untuk mencegah keterlambatan fatal seperti yang terjadi di Sumut:

  • Sistem Deteksi dan Respon Darurat Berbasis Waktu Nyata
    Setiap peringatan dini harus otomatis memicu protokol tanggap darurat tanpa menunggu keputusan penguasa.
  • Penetapan Status Darurat Maksimal 24 Jam Setelah Peringatan Keras
    Gubernur atau bupati wajib mengambil keputusan cepat untuk membuka aliran dana dan mobilisasi alat.
  • Audit Ekologi dan Penegakan Hukum Terhadap Perusahaan Perusak Lingkungan
    Perusahaan yang terbukti memperparah risiko bencana harus dihentikan operasinya.
  • Reformasi Izin Lingkungan Tingkat Provinsi
    Seluruh izin perusahaan di zona rawan harus dievaluasi ulang dan disesuaikan dengan kondisi ekosistem.
  • Transparansi Publik dalam Proses Tanggap Darurat
    Setiap mobilisasi anggaran, alat berat, dan distribusi bantuan harus dipublikasikan secara berkala.
  • Penguatan Komando Bencana Berbasis Ilmu dan Bukan Kepentingan
    Ahli hidrologi, geologi, dan ekolog harus menjadi penentu kebijakan lapangan.

Penutup: Warga Berhak Mendapatkan Pemerintah yang Lebih Cepat dari Bencana

Bencana alam memang tidak bisa dicegah sepenuhnya, tetapi dampaknya bisa diminimalkan jika pemerintah bertindak cepat dan jujur.
Ketika status darurat ditetapkan terlambat dan bantuan terhambat, rakyat menjadi korban dua kali: pertama oleh bencana, kedua oleh kepemimpinan yang tidak sigap.Sumatera Utara telah memberikan pelajaran penting kepemimpinan yang mandek adalah ancaman sebesar bencana itu sendiri.