Berita

Rakyat adalah RI 1, Presiden adalah TKI 1
Berita Terbaru

Rakyat adalah RI 1, Presiden adalah TKI 1

Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute

Siapa Sebenarnya “Nomor Satu” di Republik Ini?

Setiap hari kita mendengar istilah “RI 1”, gelar kehormatan bagi Presiden Republik Indonesia, seolah dialah pemegang kunci tertinggi kekuasaan negara. Namun, dalam logika demokrasi yang murni, dan dalam pandangan moral seorang budayawan seperti Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), gelar itu justru salah alamat. Yang seharusnya disebut RI 1 bukanlah presiden, melainkan rakyat itu sendiri.

Karena tanpa rakyat, republik ini hanyalah nama kosong.
Tanpa rakyat yang membayar pajak, bekerja, dan berkorban, tidak akan ada istana, tidak akan ada pemerintahan, tidak akan ada kursi kekuasaan yang bisa diduduki.
Presiden, menteri, dan seluruh pejabat hanyalah pekerja kontrak lima tahun atau meminjam istilah Cak Nun, “TKI 1: Tenaga Kerja Indonesia Satu.”

Presiden Bukan Majikan, Tapi Karyawan

Dalam sebuah forum kebudayaan, Cak Nun pernah menegaskan dengan lantang:

“Saya tidak bisa dipanggil presiden. Saya yang berhak memanggil presiden. Karena aku rakyat, aku yang bayar.”

Pernyataan itu bukan bentuk kesombongan, melainkan penegasan posisi moral dan konstitusional: bahwa rakyatlah pemegang kedaulatan tertinggi.
Presiden hanyalah pelaksana mandat rakyat, bukan penguasa atas rakyat.

Cak Nun menambahkan dengan satire yang tajam:

“Presiden itu outsourcing, buruh lima tahun kok manggil-manggil bos.”

Analogi ini sesungguhnya menelanjangi logika terbalik yang sudah terlalu lama bercokol di kepala bangsa ini.
Dalam sistem demokrasi, rakyat adalah pemilik perusahaan bernama Republik Indonesia, sementara pemerintah hanyalah direksi yang dipekerjakan untuk mengelolanya.
Kalau kinerjanya buruk, wajar kalau “pemilik perusahaan” memanggil dan menegur “karyawan kontraknya.”

Rakyat adalah RI 1: Pusat Kedaulatan, Bukan Penonton Demokrasi

Kedaulatan rakyat bukan sekadar jargon pembuka konstitusi. Ia adalah pondasi eksistensial negara.
Segala kekuasaan, kebijakan, dan legitimasi politik berasal dari rakyat, bukan dari istana.
Namun dalam praktiknya, rakyat sering diperlakukan seolah bawahan: diatur, ditertibkan, diperingatkan, padahal merekalah pemegang saham tunggal republik ini.

Konsep “Rakyat adalah RI 1” mengembalikan kesadaran bahwa rakyatlah yang berdaulat, rakyatlah pemilik rumah, rakyatlah tuan tanah dari republik ini.
Dan seorang presiden, betapapun tingginya jabatannya, hanyalah TKI 1, tenaga kerja yang diupah, diberi fasilitas, dan diwajibkan bekerja untuk kepentingan rakyat.

Jika presiden datang ke rakyat, itu bukan bentuk kemurahan hati, melainkan kewajiban moral.
Kalau rakyat memanggil presiden, itu bukan pelecehan, tapi hak konstitusional.
Karena dalam negara yang benar, yang berdaulat memanggil yang diutus, bukan sebaliknya.

Cak Nun dan Martabat Rakyat: Antara Moral dan Demokrasi

Cak Nun menolak dipanggil presiden bukan karena sombong, tapi karena paham posisi.
Ia berkata,

“Saya tidak pernah mau dipanggil ke istana, dan saya tidak pernah bangga sama sekali kalau ke sana. Hina saya kalau sampai ke sana.”

Pernyataan ini mengguncang nurani politik kita. Ia bukan sekadar kritik, tapi statement of dignity, sikap yang menegaskan bahwa rakyat tidak boleh menunduk di depan kekuasaan yang dibentuk dari kedaulatannya sendiri.

Bagi Cak Nun, kerendahan hati rakyat bukan berarti tunduk pada pejabat, melainkan tetap tegak dalam kesadaran bahwa mereka adalah sumber legitimasi kekuasaan itu sendiri.
Presiden, dengan segala simbol negara yang melekat padanya, hanyalah manifestasi administratif dari kehendak rakyat, bukan sosok yang harus disembah.

Negara Ini Butuh Pembalikan Arah

Kita sudah terlalu lama menempatkan rakyat di bawah kursi kekuasaan.
Kita sudah terlalu lama menganggap jabatan lebih sakral daripada kehidupan rakyat kecil.
Padahal, semestinya negara berdiri dengan logika terbalik: kekuasaan adalah bentuk pelayanan, bukan kehormatan.

Dalam rancangan tatanan baru kenegaraan yang menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan penuh, presiden bukan “kepala negara,” tapi “kepala pelayanan.”
Tugasnya bukan memerintah, melainkan memastikan setiap warga negara memperoleh haknya tanpa ketakutan.
Ia adalah pekerja rakyat, bukan tuan rakyat.

Dari Istana ke Rumah Rakyat

Jika republik ini ingin selamat, maka harus dibalik lagi logika kepemimpinannya:
Presiden bukan RI 1, melainkan TKI 1.
Yang disebut RI 1 adalah rakyat, karena mereka adalah roh dari republik ini, sumber dari segala mandat, dan tujuan dari segala kebijakan.

Dan seperti kata Cak Nun,

“Buruh lima tahun kok manggil bos.”

Sederhana tapi telak.
Karena di negeri yang sehat, rakyatlah majikan, dan presiden hanyalah karyawan yang sedang bekerja.

Catatan Penulis:
Tulisan ini merupakan refleksi atas pandangan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) tentang relasi sejati antara rakyat dan pemerintah, mengembalikan makna demokrasi ke akarnya: bahwa republik ini bukan milik penguasa, melainkan milik rakyat yang menggaji dan menghidupinya.