Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
Kekuasaan yang Menjadi Pengabdian
Dalam sistem demokrasi sejati, kekuasaan bukanlah hak istimewa, melainkan amanah. Presiden bukanlah penguasa tertinggi yang duduk di singgasana, melainkan pelayan tertinggi rakyat yang bekerja siang malam demi kesejahteraan mereka.
Namun, kenyataan hari ini sering kali berbalik. Presiden dipuja layaknya raja, dihormati berlebihan seolah menjadi sumber kehidupan rakyat. Padahal, justru rakyatlah yang menggaji presiden, membiayai seluruh fasilitas negara, dan memberi mandat agar ia bekerja. Maka, mengingatkan bahwa “Presiden adalah Pelayan Rakyat” bukanlah provokasi politik, melainkan usaha mengembalikan tatanan moral bangsa ke arah yang benar.
Cak Nun: Pemerintah Itu Buruh Rakyat
Budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) pernah menegaskan dengan sangat tajam:
“Pemerintah itu buruh rakyat, bukan majikan. Mereka digaji rakyat, difasilitasi oleh rakyat, dan diangkat untuk melayani rakyat.”
Dalam banyak kesempatan, beliau mengingatkan bahwa rakyat tidak boleh takut kepada pejabatnya, sebab rakyatlah pemilik negara ini. Presiden hanyalah pekerja, pelaksana, operator, bukan pemilik rumah bernama Republik Indonesia.
Cak Nun bahkan menolak dipanggil presiden, dengan berkata:
“Saya yang berhak memanggil presiden, karena aku rakyat, aku yang bayar.”
Kata-kata itu terdengar sederhana, tetapi mengandung revolusi kesadaran. Ia menempatkan rakyat kembali di posisi terhormat, dan menegur lembut pemerintah yang sering lupa bahwa jabatan bukan tahta, melainkan tugas pelayanan publik.
Negara sebagai Organisasi Pelayanan
Kalau kita memakai logika manajemen modern, sebagaimana diajarkan oleh Henry Mintzberg, Henri Fayol, dan prinsip ISO (International Standard Organization), negara seharusnya dikelola seperti organisasi pelayanan publik, bukan mesin kekuasaan.
Presiden berperan sebagai chief service officer, bukan “chief commander.” Ia memastikan seluruh sistem bekerja untuk rakyat ekonomi, pendidikan, kesehatan, keamanan, dan kesejahteraan. Presiden yang baik bukan yang banyak bicara, tapi yang banyak melayani. Bukan yang mencari hormat, tapi yang memberi manfaat.
Dalam teori corporate governance, rakyat adalah pemegang saham tertinggi. MPR adalah perwakilan pemegang saham. Dan presiden hanyalah manajemen pelaksana, pegawai kontrak rakyat yang wajib mempertanggungjawabkan hasil kerjanya di hadapan pemilik perusahaan, yaitu rakyat sendiri.
Rakyat Bukan Objek, Tapi Tuan yang Dilayani
Dalam tradisi Nusantara, pemimpin sejati adalah ngawula, bukan nguwasani. Pemimpin tidak berdiri di atas rakyat, tetapi berlutut untuk melayani kepentingan mereka. Dalam falsafah Jawa, dikenal ungkapan “Nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake”, memimpin tanpa menindas, mengatur tanpa memperbudak.
Artinya, seorang presiden harus hadir dengan hati yang penuh welas asih, bukan ego kekuasaan.
Ia wajib menjaga rakyat agar hidup aman dan bermartabat, bukan menakuti rakyat dengan aturan, perppu, atau jargon kekuasaan.
Karena jika pemerintah merasa lebih tinggi dari rakyat, maka bangsa ini sedang sakit tetapi bila pemimpin merasa dirinya pelayan rakyat, maka negara sedang menuju sembuh.
MPR dan Rakyat sebagai Pusat Kedaulatan
Dalam rancangan tatanan negara baru yang berbasis pada filosofi “Empat Penjaga Negara dan Satu Pusat Kedaulatan”, MPR adalah pengawal moral, intelektual, spiritual, dan budaya bangsa.
Ia bertugas memastikan agar presiden, sebagai pelayan rakyat, tidak menyimpang dari jalur pengabdian.
Di bawahnya, DPR mengawasi kinerja pemerintah agar transparan.
Dan di atas semuanya, rakyat tetap menjadi pusat: pemilik tunggal dari seluruh kekuasaan negara.
Maka hubungan antara presiden dan rakyat bukan vertikal, tapi horizontal. Bukan “yang diperintah” dan “yang memerintah,” melainkan “yang dilayani” dan “yang melayani.”
Dari Kekuasaan ke Pengabdian
Presiden bukan simbol kekuasaan, tapi simbol pengabdian. Kursi presiden bukan singgasana, tapi meja kerja rakyat. Setiap keputusan yang ia ambil bukan perintah, melainkan bentuk tanggung jawab kepada publik yang mempercayainya.
Negara akan makmur bila pemimpin sadar diri, dan rakyat sadar martabatnya. Karena sejatinya, republik ini tidak membutuhkan penguasa besar, tapi pelayan yang tulus. Dan sejarah akan mencatat, pemimpin terbaik bukan yang dielu-elukan, tapi yang benar-benar melayani.
Catatan Penulis:
Tulisan ini merupakan refleksi atas nilai-nilai pelayanan publik, filosofi Nusantara, dan pandangan moral Cak Nun, yang mengingatkan kita bahwa kemuliaan pemimpin bukan pada kekuasaannya, melainkan pada kesediaannya untuk menjadi pelayan sejati bagi rakyat yang diwakilinya.