Akhir Agustus kemarin, jalanan kita menjadi saksi ribuan rakyat turun ke jalan menuntut keadilan, dan dibalas dengan gas air mata, pentungan, serta kekerasan. Tapi justru dari situ kita melihat satu kebenaran suara rakyat tidak bisa dimatikan.
Berapa lama lagi rakyat harus menjerit sementara penguasa menutup mata? Gas air mata bisa membubarkan massa, tapi tidak bisa membungkam hati yang terluka.
Suara Rakyat Tak Bisa Dibungkam
Rezim reformasi di tahun 2025 ini masih menggunakan gas air mata, pentungan, bahkan penjara untuk membungkam rakyat. Pemerintah menutup mimbar bebas, membatasi informasi, dan membuat undang-undang yang mengekang. Tapi satu hal yang tak pernah bisa mereka lakukan yaitu mematikan suara rakyat.
Suara itu lahir dari penderitaan nyata—harga sembako yang melambung, biaya pendidikan yang tak terjangkau, korupsi yang merajalela, dan kebijakan yang menindas. Selama penderitaan itu ada, suara rakyat akan terus bergema, menembus dinding parlemen, istana, bahkan ruang-ruang rapat yang ber-AC dingin.
Namun di media sosial hari ini ramai kabar bahwa suara rakyat tidak pernah terdengar di gedung DPR. Bahkan demo besar yang pecah kemarin pun seolah dianggap angin lalu. Rakyat turun ke jalan, berteriak lantang menuntut keadilan, tapi wakil rakyat menutup telinga. Seakan jeritan ribuan orang hanya gema kosong yang tidak perlu dijawab.
Bung Karno pernah berkata: “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Hari ini terbukti: rakyat yang bersuara dianggap pengganggu, seakan musuh negara. Padahal merekalah pemilik sah negeri ini. Dibungkam sekali, mereka akan bersuara dua kali. Dipukul sekali, mereka akan berdiri seribu kali.
Hukum Bisa Dibeli, Tapi Keadilan Tak Bisa Dimatikan
Hukum seharusnya adil, tapi di negeri ini ia sering berubah menjadi komoditas. Ada harga, ada kuasa. Si kaya dan berkuasa bisa membeli kebebasan, sementara rakyat kecil dihukum berat meski salahnya sepele. Koruptor miliaran bisa tertawa di ruang sidang, bahkan masih bisa bebas menikmati hasil curiannya. Sementara seorang ibu yang mencuri beras untuk anaknya dijatuhi hukuman tanpa ampun.
Di titik ini, hukum bukan lagi pelindung, melainkan alat pemerasan. Keadilan tak hanya bisa dibeli, tapi juga bisa dimatikan. Rakyat sudah terlalu sering melihat kenyataan busuk ini—hingga mereka sadar, keadilan tidak lagi hidup di pengadilan, tapi hanya ada dalam perjuangan rakyat itu sendiri.
Sejarah berkali-kali membuktikan, ketika hukum berhenti menegakkan keadilan, rakyatlah yang akan turun tangan. Dan jalan yang dipilih rakyat hampir selalu lebih keras, lebih pahit, dan lebih menakutkan bagi penguasa.
Saat Penguasa Menutup Mata dan Telinga
Pejabat bisa pura-pura tidak melihat penderitaan rakyat. Mereka bisa menutup telinga saat petani bangkrut, buruh di-PHK, mahasiswa dipukul, dan rakyat dihimpit harga yang mencekik. Tapi jeritan perut lapar dan anak yang putus sekolah tak bisa ditutup-tutupi.
Kemarahan itu sudah meletup di akhir Agustus kemarin, ketika aksi demo besar-besaran pecah di berbagai kota. Jalanan dipenuhi ribuan massa, suara rakyat menggema dari megafon dan poster, tapi aparat menjawab dengan gas air mata dan pentungan. Bentrokan tak terelakkan, kaca gedung pecah, kendaraan terbakar, dan kota-kota besar berubah menjadi lautan chaos. Semua itu adalah tanda jelas bahwa rakyat sudah muak diperlakukan sebagai musuh, padahal mereka hanya menuntut keadilan.
Cepat atau lambat, penguasa yang mengkhianati rakyatnya akan tumbang—bukan karena kudeta asing, tapi karena rakyat sendiri yang sudah tidak bisa lagi dibungkam.
Solusi Partai X
Partai X menegaskan, agar negeri ini tidak terus terjebak dalam kebisuan dan pengkhianatan pejabat, ada jalan penyembuhan:
Mata dan telinga penguasa boleh tertutup hari ini. Tapi suara rakyat akan terus hidup. Dan pada akhirnya, suara rakyatlah yang menentukan arah bangsa.