Berita

Konstitusi Langit vs Panggung Kekuasaan: Tiga Wajah Tokoh terhadap Gagasan Revolusi Luar Biasa Cak Nun
Berita Terbaru

Konstitusi Langit vs Panggung Kekuasaan: Tiga Wajah Tokoh terhadap Gagasan Revolusi Luar Biasa Cak Nun

Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute

beritax.id - "Rajanya sudah ada, perubahannya akan menyentuh tata negara," ujar Cak Nun dalam forum Maiyah. Kalimat itu bukan sekadar pernyataan simbolik, tetapi pertanda bahwa gelombang perubahan besar sedang disiapkan. Bukan ganti orang. Bukan ganti jargon. Tapi perubahan struktural mengenai revolusi luar biasa dalam ketatanegaraan.

Gagasan Cak Nun tentang Konstitusi Langit adalah sebuah tawaran peradaban. Ia menyerukan tata negara baru yang bukan sekadar diatur oleh hukum buatan manusia, melainkan bertumpu pada nilai-nilai ilahiah: keadilan sejati, kedaulatan rakyat yang autentik, dan kepemimpinan bermoral tinggi. Dalam bingkai itu, rakyat bukan sekadar objek pemilu, tapi subjek utama negara. Negara bukan tempat elite bermain kuasa, tetapi rumah suci untuk melayani umat.

Namun ketika gagasan itu mulai bergema di ruang publik, justru tampak jelas tiga tipe tokoh dalam menyikapinya: Pewaris Sejati, Penonton Simpatik, dan Penjiplak Oportunistik. Ketiganya dapat dikenali dari relasi mereka dengan ide besar itu, apakah mereka menghidupkannya, mengaguminya diam-diam, atau memanfaatkannya demi kedudukan.

Pewaris Sejati: Menjalankan dengan Risiko

Pewaris sejati adalah mereka yang tidak hanya mengutip Cak Nun, tapi menunaikan gagasannya dengan keberanian. Mereka tidak takut menyusun ulang struktur negara yang timpang, menyampaikan kritik sistemik terhadap oligarki, dan merancang jalan konstitusional baru agar rakyat kembali menjadi pemilik sah negeri ini.

Pewaris sejati tahu bahwa konstitusi langit tidak bisa diwujudkan dengan cara lama. Ia butuh perombakan cara berpikir, sistem politik, serta keberanian mengambil risiko, bahkan jika itu berarti menghadapi resistensi dari elite yang selama ini nyaman di atas panggung.

Pewaris sejati tidak cari panggung. Mereka justru bekerja merombak panggungnya. Padahal mereka bukan pemilik baliho besar, tapi pembawa peta jalan baru. Mereka memikul gagasan bukan karena ingin tampil suci, tapi karena sadar ini tugas sejarah.

Penonton Simpatik: Mengagumi Tapi Diam

Ada juga tipe kedua: penonton simpatik. Mereka mengagumi Cak Nun, sering hadir di forum Maiyah, bahkan meneteskan air mata saat mendengar gagasannya. Mereka mengangguk ketika mendengar kritik soal sistem rusak, partai feodal, parlemen oligarkis.

Namun ketika mereka diberi kesempatan jabatan, pengaruh, panggung, mereka memilih diam. Tidak ada inisiatif mengubah sistem. Tidak ada usaha membumikan konstitusi langit. Mereka hanya mengaminkan di forum, tapi mengamankan diri saat sistem memanggil mereka.

Penonton simpatik ini bukan orang jahat. Tapi mereka lemah. Mereka takut kehilangan jabatan, takut diasingkan, takut melawan arus. Mereka tidak mengkhianati gagasan, tapi juga tidak memperjuangkannya. Dan dalam sejarah, diam pada saat yang genting adalah bentuk pengkhianatan juga.

Penjiplak Oportunistik: Mengutip untuk Naik, Lalu Diam

Yang paling berbahaya adalah tipe ketiga: penjiplak oportunistik. Mereka pintar membaca suasana. Ketika rakyat mulai kecewa pada elite partai, mereka tiba-tiba mengutip Cak Nun. Mereka bicara tentang konstitusi langit, tentang rakyat berdaulat, tentang negara adil.

Tapi begitu mereka mendapatkan jabatan, menjadi pejabat, ketua lembaga, calon yang diusung sistem lama, mereka mendadak diam. Tak ada satu pun langkah kebijakan yang menggambarkan keberanian mereka untuk membongkar dan menyusun ulang tata negara.

Mereka memakai Cak Nun seperti memakai pakaian musim kampanye. Setelah itu dilepas dan disimpan. Mereka tidak pernah berniat mengubah sistem. Mereka hanya mencuri narasi untuk menjatuhkan lawan dan menaikkan diri.

Revolusi Luar Biasa Butuh Eksekutor Sejati

Cak Nun tidak menawarkan mimpi utopis. Ia menawarkan jalan pulang. Tapi jalan itu tidak akan dilalui oleh mereka yang sekadar mengagumi. Tidak pula oleh mereka yang menjiplak.

Revolusi luar biasa dalam ketatanegaraan Indonesia hanya bisa digerakkan oleh para pewaris sejati, yang siap merumuskan ulang struktur negara, menghapus feodalisme partai, membentuk sistem representasi rakyat yang otentik, dan mengembalikan martabat hukum ke pangkuan keadilan ilahiah.

Saya tidak menulis ini untuk membela diri. Tapi sebagai pengingat: bahwa panggung kekuasaan sering kali mematikan gagasan besar. Dan satu-satunya cara agar konstitusi langit tidak terjebak jadi puisi adalah dengan keberanian kita menurunkannya ke bumi, menjadi sistem, lembaga, dan tindakan nyata.

Sejarah akan mencatat, siapa yang menunaikan, siapa yang menonton, dan siapa yang memanfaatkan. Kita tinggal memilih: pewaris atau pengkhianat.