Berita

Ijazah Jokowi Jadi Cermin Bobroknya Sistem Parpol, Revolusi Konstitusi Tak Bisa Ditunda!
Berita Terbaru

Ijazah Jokowi Jadi Cermin Bobroknya Sistem Parpol, Revolusi Konstitusi Tak Bisa Ditunda!

Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute

beritax.id - Kasus dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo kembali menyeruak dan menimbulkan kegaduhan publik yang tak kunjung reda. Namun bukan hanya soal keabsahan dokumen pendidikan kepala negara, isu ini sesungguhnya mencerminkan persoalan jauh lebih mendasar mengenai rusaknya sistem rekrutmen politik oleh partai politik (parpol) dan lemahnya bangunan konstitusi pasca-amandemen keempat UUD 1945.

Pernyataan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada 14 Mei 2025 semakin mengundang tanya. “Orang banyak kok sekarang gonjang-ganjing urusan ijazah, bener opo enggak? Ya kok susah amat ya, kan kalau di ijazah betul gitu, kasih aja, ‘ini ijazah saya’ gitu loh,” ujarnya. Megawati seolah lepas tangan, padahal partainya adalah pengusung utama Jokowi dalam dua pemilihan presiden berturut-turut.

Jika seorang ketua umum partai saja tidak bisa memastikan keabsahan dokumen dasar seorang calon presiden yang diusungnya. Lalu bagaimana rakyat bisa percaya bahwa sistem pencalonan kepala negara berjalan dengan akuntabel? Ini bukan sekadar kelalaian personal, tetapi memperlihatkan betapa parpol telah mengabaikan tanggung jawab publiknya sebagai penjaga gerbang demokrasi.

Amandemen Keempat UUD 1945

Lebih jauh, persoalan ini tidak bisa dilepaskan dari kerangka konstitusi yang berlaku. Amandemen keempat UUD 1945 mencabut penjelasan yang sebelumnya membatasi kekuasaan presiden, lalu menetapkan sistem presidensial yang memberikan peran ganda kepada presiden sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Namun dalam implementasinya, pemilihan presiden tetap harus melalui pintu parpol atau gabungan parpol (Pasal 6A ayat 2), bukan melalui calon perseorangan.

Ini menciptakan paradoks demokrasi. Rakyat memang memilih langsung, tetapi hanya bisa memilih dari kandidat yang “disodorkan” oleh parpol. Dengan kata lain, kedaulatan rakyat telah dibonsai dan disaring terlebih dahulu oleh elite politik.

Seniman dan pemikir Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun telah lama menggugat struktur ini. Ia menyebut, “Pemerintah itu pelayan rakyat. Partai politik adalah agennya. Jika asisten rumah tangga (pemerintah) membawa ijazah palsu, maka yang harus bertanggung jawab adalah agennya, bukan majikan (rakyat) yang mencari-cari sendiri ke kampus.”

Cak Nun bahkan menyoroti watak partai politik saat ini yang berubah menjadi “kerajaan mini”, lebih mementingkan kekuasaan internal daripada keselamatan bangsa. “Megawati tetap mengatakan bahwa Jokowi adalah petugas partai, jadi Indonesia itu bagian dari PDIP, bukan PDIP bagian dari Indonesia,” ungkapnya dalam berbagai forum Maiyahan.

Simbol Kebobrokan Sistem

Apa yang dikemukakan Cak Nun membuka kesadaran bahwa partai politik kini telah menjadi pusat kuasa, bukan lagi alat demokrasi rakyat. Bahkan, ketika muncul keraguan atas legalitas pemimpin yang mereka usung, tak ada mekanisme internal yang transparan untuk mengoreksi atau bertanggung jawab. Justru rakyatlah yang dipaksa membuktikan, mengejar data ke kampus, menghadapi ancaman hukum, dan dihujani stigma.

Oleh karena itu, kasus ijazah Jokowi bukan sekadar polemik dokumen. Ia adalah simbol kebobrokan sistem politik kita, sekaligus menjadi alarm bahwa revolusi ketatanegaraan tidak bisa ditunda lagi. Rakyat harus kembali memegang kedaulatan secara utuh. Sistem pemilihan harus dibuka untuk calon perseorangan. Verifikasi calon pemimpin harus dilakukan dengan ketat dan transparan. Dan yang paling penting, supremasi konstitusi harus ditegakkan di atas loyalitas parpol mana pun.

Jika tidak, bangsa ini akan terus disandera oleh “kerajaan-kerajaan” politik yang menempatkan kepentingan partai di atas kepentingan rakyat. Padahal, dalam republik sejati, kekuasaan berasal dari rakyat, dijalankan untuk rakyat, dan bertanggung jawab kepada rakyat, bukan kepada partai.