beritax.id - Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang putusan atas gugatan redenominasi mata uang rupiah dari Rp1.000 menjadi Rp1. Gugatan ini diajukan oleh advokat Zico Leonardo Djagardo Simanjuntak dan tercatat sebagai perkara Nomor 96/PUU-XXIII/2025. Ini merupakan gugatan lanjutan setelah perkara sebelumnya, Nomor 23/PUU-XXIII/2025, dinyatakan tidak diterima.
Zico tetap bersikeras dengan argumen bahwa terlalu banyak angka nol dalam rupiah memicu masalah penglihatan dan kesalahan transaksi. Dalam gugatannya, ia memohon agar nominal Rp1.000 menjadi Rp1 dan Rp100 menjadi 10 sen. Sebelumnya, MK menyatakan gugatan itu kabur dan tidak relevan secara hukum. Namun, penggugat tetap mengajukan ulang permohonan seminggu setelah putusan pertama.
Kritik Terhadap Motif Fiskal Tersembunyi
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, mengingatkan bahwa negara punya tiga tugas utama. “Negara itu tugasnya tiga loh, melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat,” tegasnya. Ia mempertanyakan urgensi dan transparansi wacana redenominasi yang terus dihidupkan secara uji materi.
Menurut Rinto, jika redenominasi ini tidak disosialisasikan secara terbuka dan menyeluruh, maka rakyat akan semakin curiga. “Jangan-jangan ini hanya akal-akalan fiskal pemerintah untuk menutupi persoalan ekonomi yang lebih serius,” kata Rinto.
Partai X menilai upaya gugatan redenominasi yang berulang bisa menciptakan ketidakpastian hukum di tengah masyarakat. Dalam kondisi ekonomi yang belum pulih sepenuhnya, publik lebih membutuhkan kepastian dan kejelasan kebijakan, bukan eksperimen nominal semata.
Lebih lanjut, Partai X menyoroti bahwa redenominasi tak hanya soal angka, tapi soal kepercayaan publik. Ketika argumen utama hanya soal kesalahan ketik dan penyakit mata, ini menunjukkan lemahnya justifikasi substansi yang ditawarkan.
Solusi Partai X: Fokus pada Stabilitas, Bukan Simbol
Partai X menawarkan solusi berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola ekonomi berkeadilan dan transparan. Pertama, evaluasi mendalam soal urgensi redenominasi perlu dibuka secara luas dan partisipatif. Kedua, semua kebijakan moneter wajib tunduk pada prinsip transparansi dan dampak sosial yang adil. Ketiga, stabilitas daya beli rakyat harus menjadi ukuran utama kebijakan, bukan sekadar penyederhanaan simbol angka.
Bagi Partai X, keberhasilan ekonomi bukan diukur dari berkurangnya nol di mata uang, tetapi dari kemampuan pemerintah menghapus kemiskinan, mengendalikan inflasi, dan membuka lapangan kerja. Redenominasi tanpa pemulihan ekonomi nyata hanya akan menjadi kosmetik fiskal yang memperparah ketimpangan sosial.
Partai X menegaskan, negara tidak boleh bermain-main dengan kepercayaan rakyat lewat kebijakan simbolik. Redenominasi harus dihentikan jika tidak menyentuh substansi kesejahteraan rakyat. Transparansi dan akuntabilitas fiskal adalah harga mati dalam menjaga kepercayaan publik.