Chief Executive Officer (CEO) Danantara Indonesia, Rosan P. Roeslani, memastikan dana Rp50 triliun dari penerbitan Patriot Bonds telah terkumpul penuh. Dana besar tersebut akan digunakan untuk membiayai proyek waste to energy (WTE) atau pengolahan sampah menjadi listrik, yang ditargetkan memasuki tahap tender akhir Oktober 2025. Menurut Rosan, dana itu dikumpulkan dari 46 konglomerat yang berkomitmen membeli Patriot Bonds melalui skema private placement. “Pokoknya sudah penuh, tercapai Rp50 triliun, ya. Itu yang bisa saya sampaikan,” ujar Rosan di Jakarta.
Namun, publik dibuat heboh setelah daftar 46 nama pengusaha besar yang membeli Patriot Bonds bocor di media sosial. Mulai dari Anthony Salim, Prajogo Pangestu, Aguan, Franky Widjaja, hingga Budi Hartono disebut sebagai pemegang surat utang tersebut. Anehnya, banyak yang heran karena bunga yang ditawarkan hanya 2 persen, jauh di bawah surat utang negara yang mencapai lebih dari 6 persen.
Ekonom Celios, Bhima Yudhistira, bahkan menilai Patriot Bonds bukan instrumen keuangan biasa, melainkan “asuransi pemerintahan” bagi konglomerat agar bisnisnya tidak diganggu pemerintah. “Dengan imbal hasil rendah, yang dicari bukan keuntungan ekonomi, tapi perlindungan,” ujar Bhima.
Anggota Majelis Tinggi Partai X, Rinto Setiyawan, menanggapi fenomena tersebut dengan nada kritis. Menurutnya, semangat investasi untuk proyek energi terbarukan memang patut diapresiasi, tetapi harus tetap berpihak kepada rakyat. “Tugas negara itu tiga, loh melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Kalau proyek ini hanya memperkuat posisi konglomerat tanpa memperhatikan beban sosial rakyat, maka negara gagal menjalankan tugasnya,” ujarnya.
Rinto menilai, proyek waste to energy memang terdengar ramah lingkungan, tetapi perlu dikaji dampaknya terhadap masyarakat sekitar.
“Jangan sampai rakyat justru menjadi korban karena kenaikan tarif listrik atau alih fungsi lahan,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa keberpihakan negara harus jelas rakyat harus menjadi pusat dari setiap kebijakan pembangunan, bukan sekadar penonton di tengah pesta modal besar.
Dalam prinsip Partai X, negara adalah entitas yang terdiri dari wilayah, rakyat, dan pemerintah yang menjalankan kewenangan secara efektif, efisien, dan transparan demi keadilan dan kesejahteraan seluruh rakyat. Pemerintah hanyalah sebagian kecil rakyat yang diberi mandat, bukan pemilik negara. Artinya, kekuasaan ekonomi tidak boleh dikuasai oleh segelintir kelompok kaya.
Rinto mengingatkan, ketika pemerintah terlalu dekat dengan para pemodal, maka kebijakan yang seharusnya berpihak pada rakyat bisa berubah arah. “Negara ini bukan milik konglomerat, dan pemerintah bukan pelayan korporasi. Pemerintah adalah pelayan rakyat,” tegasnya. Ia menilai praktik seperti ini berpotensi memperkuat ketimpangan ekonomi dan menurunkan kepercayaan publik terhadap komitmen negara terhadap keadilan sosial.
Partai X menawarkan solusi yang berpijak pada prinsip kenegaraan yang sehat dan berkeadilan:
Partai X menegaskan, proyek energi dan lingkungan harus membawa manfaat langsung bagi rakyat. Pemerintah harus memastikan setiap rupiah yang dikeluarkan, setiap kebijakan yang dibuat, dan setiap proyek yang dijalankan, benar-benar berpihak kepada kepentingan rakyat, bukan konglomerat.Rinto menutup dengan peringatan tegas: “Sampah boleh jadi listrik, tapi jangan sampai rakyat terus ditekan demi kepentingan segelintir pemilik modal.”
Menurutnya, inilah saatnya negara kembali kepada jati dirinya hadir, melindungi, dan melayani rakyat secara nyata.