Berita

Kaleidoskop 2025: Ketangguhan Bangsa di Tengah Tantangan
Berita Terbaru

Kaleidoskop 2025: Ketangguhan Bangsa di Tengah Tantangan

Sepanjang tahun ini, pemerintah terlihat sekali memegang satu prinsip: bukan bikin peraturan yang penting, tapi yang penting bikin peraturan. Soal itu perlu atau tidak, rakyat Indonesia siap atau tidak, itu urusan belakangan.

Kaleidoskop 2025

Januari, negara dibuka dengan PPN 12% dan Coretax yang error terus. Pajak naik, sistem kacau, rakyat kesulitan. Kebijakan rancu dibuat demi kepatuhan pajak.

Februari, muncul Gerakan Indonesia Gelap dan tagar #KaburAjaDulu. Lampu dipadamkan sebagai simbol kekecewaan publik terhadap pemerintahan Prabowo–Gibran yang bahkan belum lama berjalan. Ini bukan gerakan lucu-lucuan melainkan ini alarm. Tapi seperti biasa, pemerintah diam tanpa respon.

Maret, publik menolak Revisi UU TNI karena rawan menyuburkan militerisme. Tapi pemerintah dan DPR tetap maju. Lagi-lagi: yang penting ada kebijakan demi keuntungan segelintir orang. 

April, konflik agraria IKN memanas. Masyarakat Adat di Paser Maridan dan Suku Balik sudah bertahun-tahun hidup di tanah itu, tapi proyek besar datang dan lahan mereka dipatok. Tentu saja, rakyat lagi-lagi ditumbalkan.

Agustus, rencana tunjangan rumah DPR Rp 50 juta/bulan bikin satu negara protes besar-besaran. Hingga memicu tuntutan 17+8. Tapi apakah pemerintah tobat? Tentu saja tidak. 

September, rakyat minta UU Perampasan Aset disahkan dengan tuntutan jelas, sederhana, masuk akal. Tapi jawabannya Cuma justru “masuk Prolegnas 2025–2026.” Artinya, pemerintah hanya mengulur waktu.

September–Oktober, Papua kembali bergejolak. Warga mengungsi karena operasi militer. TNI bilang operasinya persuasif, tapi fakta di lapangan menunjukkan rumah kosong dan kampung yang ditinggalkan. Narasi dan realitas berjalan dalam dualism.

November, pemerintah umumkan kenaikan UMP/UMK 6,5%. Ini satu-satunya momen yang terlihat seperti kabar baik. Tapi justru menjebak rakyat. Karena dengan kenaikan UMP atau UMK, maka pemerintah akan menaikkan pula harga pokok.

Desember, bencana Sumatera memakan banyak korban. Pemerintah bilang penyebabnya hujan ekstrem, sementara masyarakat mendesak agar izin-izin korporasi diaudit. Lagi-lagi, masalah struktural dikecilkan. Bahkan bantuan warga untuk warga juga dipermasalahkan.

Masih di bulan yang sama, KUHP nasional mulai berlaku, membawa pasal-pasal penghinaan negara yang rawan dipakai membungkam kritik. Pakar hukum sudah mengingatkan, tapi pemerintah tetap jalan. Yang penting regulasi diterapkan, bukan ruang demokrasi terjaga.

Berbagai peristiwa sepanjang tahun itu menunjukkan satu pola yang sama bahwa negara bergerak bukan berdasarkan kebutuhan rakyat, melainkan berdasarkan kepentingan kekuasaan. Regulasi dibuat bukan karena urgensi, melainkan karena pemerintah ingin menunjukkan bahwa mereka berbuat sesuatu, meski yang dibuat justru menambah beban masyarakat. 

Kesimpulan

Kritik diabaikan, protes dianggap angin lalu, dan setiap persoalan struktural selalu dinormalisasi dengan narasin yang tidak menyentuh akar masalah. Pada akhirnya, selama pemerintah dan negara dianggap hal yang sama, maka kesewenang-wenangan akan terus berulang.

Lantas, apakah kalian mau mempertahankan kerusakan ini atau mengembalikan kedaulatan negara ke tangan kita yaitu rakyat?