beritax.id - Dalam salah satu refleksinya, Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) pernah menegaskan bahwa rakyat Indonesia sudah tidak punya jalan keluar. Sistem pemerintahan, sistem negara, bahkan lembaga perwakilan rakyat, semua itu memang eksis secara formal, tetapi tidak pernah sungguh-sungguh mengakomodasi kehendak dan kedaulatan rakyat.
Jalur hukum pun kini tak lagi menjadi jalan terang. Justru sebaliknya, jalur hukum sering kali menjadi labirin gelap yang menyesatkan dan mematikan harapan. Seperti kata Cak Nun, "Kalau kita kehilangan kambing dan menempuh jalur hukum, malah bisa kehilangan sapi."
Ironisnya, aparat pemerintah dan penegak hukum yang seharusnya mengabdi pada rakyat justru lupa siapa yang mereka layani. Rakyat hanya dipandang sebagai "penduduk" biasa, bukan sebagai "rakyat" yang memiliki kedaulatan sejati. Dalam bahasa Arab, rakyat disebut ro‘iyah, kumpulan manusia yang memiliki kedaulatan penuh. Sementara penduduk hanyalah sekumpulan orang yang numpang hidup, tanpa hak menentukan arah negara, dan sekadar dijadikan objek kekuasaan.
Tak heran jika Cak Nun berulang kali menyebut bahwa negara ini sesungguhnya belum layak disebut negara. Bahkan secara simbolik, negara ini "batal" untuk disebut negara. Yang ada hanyalah "negara kerajaan Indonesia", di mana kekuasaan oligarki, para "sengkuni", dan para pengkhianat konstitusi terus menindas rakyat.
Pengalaman saya pribadi di dunia peradilan memperkuat realitas ini. Ada tiga pengadilan yang pernah saya jalani sendiri:
Di Pengadilan Negeri, saat sidang kita tidak bisa memeriksa alat bukti lawan secara utuh. Hanya boleh "melihat" sekilas di forum lain yang disebut inzage, tanpa boleh difoto atau disalin. Bahkan surat kuasa lawan pun tidak boleh difoto. Artinya, siapa pun bisa bersidang asal punya lobi kuat ke hakim ataupun pejabat pengadilan.
Di Pengadilan Tinggi, setelah saya menang di tingkat pertama, lawan mengajukan banding. Anehnya, mereka bisa memanipulasi waktu pengajuan banding, bahkan yang sudah melewati tenggat tetap diterima asalkan kenal pejabat di Pengadilan Tinggi. Hasilnya? Saya yang awalnya menang, bisa tiba-tiba kalah tanpa sidang sama sekali.
Di Mahkamah Agung, jalurnya lebih parah. Kalau kita berjalan normatif dan tidak punya "lobi" ke orang dalam, hampir pasti hasil kasasi hanya menguatkan keputusan Pengadilan Tinggi, tanpa benar-benar menimbang keadilan substantif.
Menurut saya, PTUN adalah pengadilan yang paling rumit dan aneh. Untuk bisa masuk ke pokok perkara, ada sidang dismissal. Sidang ini seolah-olah membantu rakyat memperbaiki gugatan. Namun kenyataannya, justru diarahkan agar rakyat kelelahan, dan gugatan dihentikan sebelum masuk pokok perkara. Apalagi jika yang digugat adalah pejabat penting seperti menteri atau pejabat eselon 1 dan 2—sangat sulit tembus.
Ini pengadilan yang, menurut saya, paling lucu dan menyedihkan. Penggugat (wajib pajak) dicek detail legal standing-nya secara ketat, sedangkan pihak tergugat (biasanya Dirjen Pajak) langsung diterima tanpa ribet.
Lebih parah lagi, banyak hakim di Pengadilan Pajak banyak yang belum sarjana hukum, dan mayoritas sudah akrab dengan pihak tergugat karena berada di bawah Kementerian Keuangan yang sama. Bayangkan, lembaga pengadilan yang seharusnya independen justru menjadi perpanjangan tangan eksekutif yang juga berfungsi sebagai "pemungut".
Pengalaman ini membuat saya semakin yakin bahwa hukum di Indonesia saat ini "nggateli pol", sangat menyakitkan, sangat mengecewakan. Istilah "nggateli" dalam bahasa Jawa berarti menyakitkan hati, dan "pol" berarti sangat atau banget, jadi "nggateli pol" artinya benar-benar menyakitkan hingga ke tulang sumsum rakyat.
Sudah saatnya kita semua sadar: Reformasi total ketatanegaraan mutlak diperlukan! Negara harus dikembalikan ke pangkuan rakyat, bukan oligarki, bukan para sengkuni. Rakyat sebagai ro‘iyah harus kembali diakui sebagai pemilik kedaulatan sejati.
Kalau tidak, maka rakyat selamanya hanya akan menjadi "penduduk numpang" dalam rumah bangsa yang seharusnya milik mereka sendiri.
Saatnya kita semua berdiri dan menyatakan: Cukup sudah "nggateli pol"! Saatnya reformasi tata negara total, saatnya konstitusi langit diwujudkan, saatnya kedaulatan kembali ke tangan rakyat!