Berita

Saputra: Jika Ingin Mengejar Koruptor, Prabowo  Harus Evaluasi UU KPK 2019
Berita Terbaru

Saputra: Jika Ingin Mengejar Koruptor, Prabowo  Harus Evaluasi UU KPK 2019

Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) telah resmi melaporkan dugaan korupsi dalam pengadaan aplikasi sistem administrasi perpajakan Coretax kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Proyek yang menghabiskan anggaran sebesar Rp 1,3 triliun ini awalnya diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam sistem perpajakan di Indonesia. Namun, berbagai kendala teknis yang muncul selama implementasi justru menimbulkan kerugian bagi para pengusaha dan wajib pajak.

Rinto Setiyawan selaku Ketua Umum IWPI bersama dengan Alessandro Rey, Ketua Perkumpulan Profesi Pengacara dan Praktisi Pajak Indonesia (P5i) menjelaskan di kompleks Gedung KPK bahwa laporan tersebut mencakup sejumlah masalah yang dihadapi oleh wajib pajak saat menggunakan Coretax, termasuk kesulitan dalam akses aplikasi, kegagalan sistem, dan kurangnya dukungan teknis dari DJP.

Rinto menekankan bahwa kegagalan fungsi aplikasi ini tidak hanya merugikan wajib pajak tetapi juga menciptakan ketidakpercayaan terhadap DJP sebagai lembaga pemerintah.

Sistem Coretax dirancang untuk menggantikan aplikasi sebelumnya seperti e-Faktur dan e-Filing dengan harapan dapat menyederhanakan proses perpajakan. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa implementasi sistem ini jauh dari harapan. Banyak pengguna mengeluhkan kesulitan dalam melakukan pendaftaran, pelaporan SPT, dan pembayaran pajak. Rinto menyatakan bahwa banyak pengusaha terancam sanksi karena ketidakmampuan sistem dalam memenuhi kewajiban perpajakan mereka. 

Laporan IWPI ini diperkuat oleh analisa pakar IT dari PT Enygma Solusi Negeri, Erick Karya. Erick mengungkapkan bahwa durasi pengawasan proyek tidak selaras dengan kontrak kerja. Kontrak pekerjaan untuk Coretax berlangsung dari 2020 hingga 2024, tetapi proyek pengawasannya hanya berakhir pada 2023. Menurutnya, hal ini menunjukkan asumsi prematur bahwa aplikasi sudah siap digunakan tanpa pengawasan penuh selama masa implementasi. 

"Tanpa pengawasan yang memadai, risiko kegagalan di masa transisi meningkat," tegas Erick.

Di sisi lain, Rinto mengaku baru kali ini membuat laporan ke KPK. Ia mengaku merasakan kesan KPK yang “berbeda”. “Seperti ada ketakutan untuk independent,” katanya.

Menanggapi hal itu, Prayogi R. Saputra analis politik dan hubungan internasional dari Sekolah Negarawan X-Institute berkomentar bahwa pasti ada perbedaan psikologis para pegawai KPK ketika masih menjadi lembaga independent dan pasca Undang-undang KPK 2019 yang menyatakan bahwa pegawai KPK adalah Aparatur Sipil Negara (ASN). 

“Status ASN seperti menjerat tangan dan kaki pegawai KPK,” ujarnya.

Dia juga menegaskan jika ingin mengejar koruptor sampai ke Antartika, Presiden Prabowo Subianto perlu meninjau ulang Undang-Undang KPK hasil revisi tahun 2019. Seperti jamak diketahui, banyak pihak menyatakan bahwa undang-undang tersebut merupakan upaya sistematis untuk melemahkan KPK.

"Kalau tidak ditinjau ulang, KPK tidak ada bedanya dengan inspektorat. Tidak memiliki kekuatan. Ibarat disuruh menangkap koruptor. tapi dipersenjatai dengan tusuk gigi," selorohnya.

Saputra menegaskan bahwa untuk memberantas korupsi secara efektif, diperlukan langkah-langkah strategis seperti penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang dapat mengembalikan kekuatan KPK. Ia mengingatkan bahwa tanpa reformasi yang berarti dalam undang-undang tersebut, upaya pemberantasan korupsi akan menjadi sia-sia.