beritax.id - Jika kita menilik wajah negara hari ini, kata "oligarki" menjadi momok yang menghantui setiap denyut demokrasi kita. Rakyat yang katanya berdaulat, justru terpinggirkan oleh segelintir elite ekonomi dan elite partai politik. Seolah-olah, negeri ini hanya panggung dagang kuasa segelintir orang. Namun, bagi Cak Nun (Emha Ainun Nadjib), semua itu sebenarnya sudah bisa diprediksi, sebab negara ini dibangun tanpa jiwa, tanpa kesucian batin, dan tanpa "konstitusi langit".
Cak Nun menyebut bahwa Konstitusi Langit bukan sekadar rumusan pasal dan ayat yang tertulis, melainkan wujud nilai spiritual dan kesadaran kolektif rakyat yang menjadi pondasi sejati. Dalam Konstitusi Langit, kedaulatan bukan di tangan elite atau partai, tetapi kembali kepada pancer: rakyat itu sendiri.
Konsep Sedulur Papat Limo Pancer, yang berakar dalam falsafah Jawa, juga menjadi kerangka penting. Di situ, pancer adalah jiwa utama, dan dalam konteks negara, pancer adalah rakyat. Sedangkan empat saudara yang lain (sedulur papat) terdiri dari:
Keempatnya harus sinergi, melingkupi pancer (rakyat) dan saling menjaga, bukan saling menguasai. Negara hanya kokoh jika seluruh elemen ini bekerja dalam harmoni, bukan dalam kerangkeng oligarki.
Selanjutnya, Cak Nun juga sering menekankan lima tahapan spiritual sebuah bangsa: Kudus, Salam, Mukmin, Muhaimin, dan Aziz.
Namun, untuk bisa mencapai derajat "Aziz", kita memerlukan manusia-manusia yang siddiq (jujur dan sungguh-sungguh). Dalam penjelasan Cak Nun, sifat siddiq berarti kesungguhan penuh yang melahirkan kejujuran. Dari sini, lahir amanah — tanggung jawab dan kepercayaan yang dijaga sepenuh jiwa.
Lalu lahir tabligh, yakni kemampuan menyampaikan gagasan dan kebenaran kepada masyarakat luas. Jika ketiganya berjalan, muncullah fathonah, yaitu kecerdasan yang tidak hanya cerdas akal, tetapi juga cerdas spiritual, mampu membaca tanda-tanda zaman, memetakan masa depan, dan menemukan algoritma perubahan.
Dengan gabungan sifat-sifat itu, bangsa akan punya kepekaan untuk menangkap "frekuensi langit" — konsep ideal tata negara yang berakar pada nilai luhur, spiritualitas, dan keberpihakan total kepada rakyat. Negara yang dibangun dengan Konstitusi Langit ala Cak Nun tidak akan melahirkan oligarki. Sebab, oligarki lahir dari keserakahan, kedangkalan spiritual, serta ketidakmampuan menangkap tanggung jawab hakiki kepada rakyat.
Bagi Cak Nun, jika bangsa ini ingin benar-benar berdaulat, maka negara harus dirancang ulang bukan sekadar sebagai "mesin partai politik", tetapi sebagai rumah bersama yang kudus, aman, saling percaya, dirawat, dan akhirnya menjadi bangsa agung (Aziz). Rumah ini berdiri di atas fondasi kejujuran (siddiq), kepercayaan (amanah), komunikasi kebenaran (tabligh), dan kecerdasan total (fathonah). Dan pancer-nya, pusat jiwa rumah itu, tidak lain adalah rakyat.
Maka, Dengan Konstitusi Langit ala Cak Nun, Oligarki Mustahil Tumbuh! Sebab setiap inci negara dibangun dengan kesucian, bukan keserakahan. Dibangun dengan cinta, bukan ambisi. Dibangun oleh manusia berjiwa negarawan, bukan sekadar pencari kekuasaan.
Sekarang, tinggal kita: apakah kita siap menjadi eksekutor gagasan langit ini? Atau kita akan terus jadi penonton yang puas di pinggir panggung? Saatnya kita memilih, menjadi pancer yang memimpin perubahan, atau sekadar debu di kaki oligarki.