beritax.id - Dalam setiap forum Maiyah, kita tidak hanya duduk mendengar, tetapi sedang diberi "cahaya", potensi spiritual, intelektual, dan kebangsaan yang tersebar dalam berbagai bentuk ilmu, nilai, dan perenungan. Cak Nun bukan sekadar menyampaikan wacana, tapi menanam benih kesadaran dalam setiap jiwa yang hadir. Dan kita semua yang telah menerima sinar itu, kini memiliki tanggung jawab: menyatukan sinar menuju titik api.
Apa yang saya maksud dengan sinar adalah ilmu dan nilai yang disampaikan Cak Nun selama puluhan tahun melalui forum-forum Maiyah. Dalam sinar-sinar itu ada semangat nandur (menanam), poso (menahan diri), dan sodaqoh (pengorbanan). Ilmu-ilmu tersebut bukan untuk dikoleksi dalam kepala, melainkan untuk ditanam dalam batin dan diamalkan dalam tindakan.
Maiyah adalah kumpulan potensi-potensi. Setiap jamaah membawa warna, irama, dan energi spiritualnya sendiri. Bila disatukan, sinar-sinar ini dapat menjadi cahaya besar yang memfokuskan energi bangsa menuju titik api perubahan. Titik api inilah tempat lahirnya semangat Tandhang, yakni bergerak, bertindak, dan mewujudkan perubahan konkret dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Cak Nun telah berkali-kali mengingatkan kita semua untuk terus menggali ke dalam diri. Ia tidak pernah menyuapi kita dengan jawaban instan, tetapi mengajak menelusuri labirin batin dan akal sehat. Dalam tradisi ini, mengenali “warna batin” kita menjadi penting, karena dari situlah kita tahu di mana posisi kita dalam perjuangan. Apakah kita adalah cahaya yang menyinari, atau justru bayangan yang mengaburkan?
Hari-hari ke depan menuntut aktualisasi. Benih sudah disemai. Potensi sudah ada. Maka kini saatnya bergerak. Spiritualitas harus naik kelas menjadi praksis sosial-politik. Konsep-konsep ketatanegaraan dari Cak Nun, yang selama ini dianggap terlalu tinggi, terlalu rumit, atau bahkan utopis, sebenarnya sudah memiliki fondasi kokoh jika dilihat dari kesungguhan batin para jamaah Maiyah. Yang kita butuhkan adalah "eksekutor gagasan", bukan sekadar penonton spiritual.
Pasukan eksekutor ini bukan militer bersenjata. Mereka adalah orang-orang yang tenanan (bersungguh-sungguh), konsisten dalam belajar, dan jujur dalam mengamalkan ilmu. Mereka adalah "kaca pembesar" yang dapat mengumpulkan sinar-sinar kebaikan hingga menyulut titik api sejarah baru, perubahan mendasar struktur ketatanegaraan Indonesia.
Maka, mari kita bertanya dalam-dalam kepada diri sendiri:
Apakah kita masih ingin jadi penyimpan cahaya atau pemancar cahaya?
Apakah kita siap menjadi api perubahan dari ilmu yang telah kita serap?
Apakah kita cukup berani mengaktualisasikan nilai dalam medan riil?
Karena sejarah tidak akan menunggu mereka yang hanya duduk termenung. Dan perubahan tak akan lahir dari wacana tanpa tekad. Tahun ini adalah waktunya tandhang, waktu bagi Maiyah bukan hanya menjadi tempat bersandar, tapi menjadi jantung peradaban yang hidup, dengan sinar yang difokuskan menuju titik api.