Berita

IWPI Adakan Webinar Nasional: Lonceng Kematian di Pengadilan Pajak oleh Menteri Keuangan?
Berita Terbaru

IWPI Adakan Webinar Nasional: Lonceng Kematian di Pengadilan Pajak oleh Menteri Keuangan?

beritax.id - Jakarta, 26 Juni 2025 — Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) kembali bersuara lantang menyoal masa depan keadilan perpajakan di Indonesia. Melalui Webinar Nasional bertajuk “Lonceng Kematian di Pengadilan Pajak oleh Menteri Keuangan?”, IWPI mengangkat kegelisahan publik atas rencana Kementerian Keuangan yang akan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) baru terkait persyaratan kuasa hukum pajak. Aturan itu dinilai bukan saja membatasi hak wajib dalam mencari keadilan, namun juga memperkuat dominasi eksekutif dalam peradilan perpajakan yang seharusnya independen.

Acara yang diselenggarakan pada Kamis, 26 Juni 2025 pukul 15.00–17.30 WIB melalui platform Zoom dan youtube ini dihadiri oleh sekitar 1000 peserta dari kalangan wajib pajak, praktisi hukum, akademisi, dan pemerhati kebijakan fiskal. Hadir sebagai pembicara utama yakni Rinto Setiyawan, A.Md. (Ketua Umum IWPI) dan Dr. Alessandro Rey (Ahli Hukum Pajak) dengan moderator Fungsiawan, S.E.

PMK Baru Ancam Hak Konstitusional Wajib Pajak

Dalam paparan pembukanya, Rinto Setiyawan menegaskan bahwa PMK yang disusun Kementerian Keuangan mengandung potensi pelanggaran konstitusi karena membatasi siapa saja yang boleh menjadi kuasa hukum pajak. “Bukan hanya tidak konstitusional, tapi PMK ini jelas-jelas mencederai independensi peradilan yang telah diperintahkan oleh Putusan MK No. 26/PUU-XXI/2023, yakni agar pengadilan ini berada di bawah Mahkamah Agung paling lambat 31 Desember 2026,” ungkap Rinto.

Rekayasa Regulasi: Saat Menkeu Jadi Hakim, Legislator, Sekaligus Pelatih

IWPI menyoroti bahwa telah terjadi rekayasa sistem fiskal yang menciptakan ketimpangan otoritas di sektor perpajakan. Berdasarkan data internal yang diungkap dalam webinar, terdapat:

  • 48 frasa PMK dalam UU KUP
  • 34 frasa PMK dalam UU PPN
  • 46 frasa PMK dalam UU PPh

“Ini bukan sekadar teknis hukum, ini adalah bentuk pengambilalihan fungsi legislatif oleh eksekutif. Dan ketika Dirjen Pajak (DJP) menjalankan UU itu sebagai pihak eksekutif, dan bersengketa di pengadilan pajak yang juga di bawah Kemenkeu, maka habislah prinsip trias politica,” kata Rinto.

Ia menganalogikan situasi ini sebagai pertandingan sepak bola yang timpang: “Tim DJP dibina dan dilatih oleh Menkeu. Peraturannya ditulis oleh Menkeu. Wasitnya, hakim pengadilan pajak, juga berada di bawah Kemenkeu. Maka tak heran, rakyat sebagai tim wajib pajak terus kalah.”

Pandangan Akademisi: Menuju Taxstaat, Bukan Lagi Negara Hukum

Dr. Alessandro Rey, ahli hukum pajak, menyampaikan bahwa kebijakan PMK ini menunjukkan gejala otoritarianisme fiskal. “Langkah ini bukan hanya tak berbasis data, tapi juga mencerminkan bahwa negara semakin menjauh dari prinsip negara hukum. Kita bergeser ke arah Taxstaat, negara yang dikendalikan instrumen pajak, bukan konstitusi.”

Ia juga menambahkan bahwa membatasi kuasa hukum berarti membatasi akses terhadap keadilan, dan melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang menjamin setiap orang atas perlakuan hukum yang sama, serta Pasal 1 ayat (3) bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.

Kesaksian Langsung: Ketika Keadilan Tak Dikenal Angka

Dari barisan peserta, muncul suara hati rakyat. Seorang pengusaha toko bangunan asal Bojonegoro, Antono, mengaku dikenakan tagihan pajak Rp10,4 miliar. “Saya hanya jualan semen dan keramik. Tapi saya dianggap punya omset triliunan. Ketika saya akan ajukan keberatan dan gugatan, tak satu pun proses memberi saya ruang keadilan. Mereka main pukul rata. Saya bukan korporasi besar, saya rakyat kecil,” ucapnya dengan mata berkaca.

IWPI: Lawan Otoritarianisme Fiskal, Tegakkan Konstitusi

Di penghujung acara, IWPI mengeluarkan lima desakan:

  1. Cabut PMK terkait syarat kuasa hukum pajak.
  2. Alihkan pengadilan pajak ke Mahkamah Agung sesuai amanat putusan MK.
  3. Hapus frasa delegatif yang memberi kekuasaan berlebih kepada Menkeu.
  4. Audit total struktur regulasi perpajakan oleh lembaga independen.
  5. Dorong pembaruan fiskus, sistem edukasi, dan pembinaan wajib pajak.

Penutup: Saatnya Rakyat Bangkit Melawan Ketimpangan

Sebagai penutup, Rinto menyampaikan seruan moral:

“Keadilan perpajakan bukanlah soal teknis akuntansi. Ini soal keberpihakan. Bila pengadilan tidak netral, bila regulasi ditulis oleh satu tangan, dan fiskus menjadi penentu segalanya, maka demokrasi fiskal hanya mitos.”

Dan sebagai penutup, izinkan kami mengutip kata-kata yang menyayat dari Cak Nun, tokoh yang kami angkat sebagai simbol nurani rakyat:

“Kalian ini pemimpin-pemimpin Indonesia, yang mana gak Sengkuni, terus kalian menjadi Sengkuni atas penderitaan apa? Kamu pernah susah apa hidupmu? Atas nama penderitaan yang bagaimana kamu tega berbuat jahat kepada rakyat?
Sengkuni saja tidak sejahat kamu, padahal penderitaannya ribuan kali lipat dibanding hidupmu.”

Pernyataan ini bukan kebencian. Ini cermin, yang memantulkan kegagalan nurani para pejabat dan penegak hukum fiskal di negeri ini.

IWPI Menutup dengan Moto: Keadilan Pajak untuk Rakyat, Bukan Kuasa untuk Kekuasaan

“Bagi wajib pajak, bayarlah pajak sesuai kewajiban agar negara kuat.
Bagi fiskus, terimalah pembayaran pajak sesuai hak, agar tercipta keadilan.

Negara yang sehat tak lahir dari APBN yang besar,
Tapi dari keadilan yang besar,
Dan dari rasa percaya rakyat yang tak dikhianati.