beritax.id - Dalam salah satu pernyataan reflektifnya, Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) dengan tegas mengatakan bahwa rakyat Indonesia sudah tidak punya jalan keluar. Negara yang seharusnya menjadi pelindung, justru berubah menjadi labirin yang menyesatkan. Jalur hukum kian rumit dan terjal, sistem pemerintahan semakin menjauh dari nilai-nilai Pancasila, dan konstitusi seringkali hanya menjadi alat formalitas untuk melegitimasi kepentingan kelompok. Sudah saatnya revolusi damai untuk ketatanegaraan Indonesia.
Rakyat, yang secara filosofis adalah pemilik kedaulatan sejati, terpinggirkan dan hanya dijadikan penonton dalam panggung (kejahatan) yang penuh sandiwara. Situasi inilah yang membuat Cak Nun menyerukan revolusi damai ketatanegaraan, bukan sekadar hal biasa, melainkan transformasi total yang mengembalikan ruh kedaulatan ke tangan rakyat.
Revolusi damai adalah bentuk perubahan sosial dan politik yang menolak kekerasan. Ini bukan kudeta, bukan perang fisik, bukan pertumpahan darah. Revolusi damai menekankan kekuatan moral, keberanian kolektif, dan kesadaran spiritual rakyat untuk menuntut perubahan dengan cara-cara non-kekerasan.
Beberapa contoh revolusi damai yang menginspirasi:
Revolusi damai yang diusung Cak Nun bukan sekadar pergantian pemimpin, melainkan penerapan Konstitusi Langit, sebuah gagasan ketatanegaraan yang lahir dari nurani, kejujuran, dan kesadaran spiritual terdalam. Konstitusi Langit meletakkan kedaulatan penuh di tangan rakyat (pancer), dengan dukungan empat unsur rakyat (sedulur papat): kaum intelektual (otak), kaum spiritual (hati), TNI-Polri (tulang), serta kaum budaya dan adat (darah dan daging).
Dengan Konstitusi Langit, rakyat tidak lagi hanya menjadi penduduk pasif. Rakyat adalah raja sejati, penentu arah bangsa, dan pemilik sah konstitusi. Ini adalah jawaban dari kerinduan panjang rakyat yang selama ini dikhianati oleh sistem oligarki dan elite kuasa yang tamak.
Bagaimana bentuk revolusi damai? Tidak harus dengan kerumunan penuh amarah. Salah satu bentuk paling radikal justru bisa dilakukan dengan diam serentak, menduduki kantor-kantor pemerintahan, gedung-gedung parlemen, jalan protokol. Rakyat duduk dalam keheningan, tanpa senjata, tanpa kekerasan, hanya membawa keteguhan dan kesadaran. Diam yang mengguncang, yang justru membuat sistem lama runtuh oleh beratnya suara hati nurani.
Kondisi hari ini menunjukkan betapa sistem hukum “nggateli” (bahasa Jawa: menyakitkan, menyebalkan), pemerintahan gembelengan, dan hukum yang hanya mengabdi pada kuasa dan uang. Rakyat tidak lagi memiliki harapan di jalur hukum formal. Dalam keadaan inilah revolusi damai bukan hanya pilihan, melainkan satu-satunya jalan yang tersisa.
Cak Nun menyebut bahwa negara ini kini layaknya rumah yang atapnya bocor, dindingnya lembab, fondasinya retak, penuh tikus dan kecoa. Rumah yang tak lagi layak huni. Kalau rumah saja kita perbaiki demi keselamatan keluarga, maka negara juga harus diperbaiki demi keselamatan seluruh rakyat.
Revolusi damai bukan sekadar gerakan politik. Ini adalah jihad moral dan spiritual untuk menegakkan kembali kedaulatan rakyat yang hilang. Dengan Konstitusi Langit sebagai arah, rakyat bisa kembali menjadi pemilik sejati negeri ini, bukan sekadar penonton yang dipaksa membayar pajak untuk panggung (kejahatan) politik penuh tipu daya.
Wahai saudaraku, mari kita duduk bersama, diam dalam keberanian, dan bersatu dalam kesadaran. Karena diam kita adalah petir bagi ketidakadilan, dan ketenangan kita adalah badai bagi tirani.