beritax.id - Reformasi 1998 sering diagungkan sebagai tonggak kebangkitan demokrasi Indonesia. Namun, dalam pandangan Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun, reformasi itu tak lebih dari panggung palsu. Hal ini ditegaskan Cak Nun dalam wawancaranya dengan Detik News pada 21 Mei 2013 berjudul "Emha Ainun Nadjib: Reformasi Itu Omong Kosong."
Menurut Cak Nun, pertemuan sembilan orang dengan Presiden Soeharto pada 19 Mei 1998 hanya menjadi seremoni belaka, ibarat resepsi pernikahan, sementara akadnya sudah disepakati terlebih dahulu pada malam 18 Mei. Pada saat itu, Pak Harto sendiri sudah mengambil keputusan untuk mundur.
"Sebenarnya, tidak ada ketegangan di pertemuan itu," kata Cak Nun. Bahkan, ancaman 16 bom di delapan pom bensin dan delapan titik jalan tol yang mengitari Istana tak pernah diledakkan. Pak Harto mempelajari satu kalimat kunci: "Tidak jadi presiden tidak patheken."
Lebih lanjut, Cak Nun menegaskan bahwa formula peralihan kekuasaan saat itu tidak pernah disepakati dengan jelas. Akibatnya, reformasi yang lahir menjadi penuh kemunafikan, palsu, dan menjijikkan. "Jauh lebih susah mengurusi seorang munafik reformasi dibanding 100 orang kafir Orde Baru," ungkapnya.
Kemunafikan para elit pasca-reformasi memungkinkan segala warna diubah seenaknya: putih menjadi merah, hijau menjadi biru, kebenaran menjadi dusta, seolah tak ada batas nilai yang dipegang teguh. Bangsa ini diseret masuk ke dalam pusaran kompromi dan transaksi (kejahatan) politik, meninggalkan hakikat kedaulatan rakyat yang sejati.
Cak Nun juga pernah menyatakan pada 21 Februari 2019: "Bosen wes, wes bosen koyok ngene iki, dan saya harap mulai tahun 2025 sudah mulai." Ini adalah isyarat jelas bahwa 2025 harus menjadi titik balik: momentum reformasi sejati yang bukan lagi sekadar ganti pemain, tetapi ganti sistem!
Reformasi 1998 hanyalah ritual retorika. Elit-elit lama tetap bercokol, hanya berganti kostum. Indonesia tetap dikuasai oligarki (kejahatan) politik, konglomerasi ekonomi, dan mafia birokrasi yang merampas hak-hak rakyat.
Maka, gagasan "Reformasi Tata Negara Sejati" yang didorong Cak Nun bukan sekadar retorika atau slogan pemilu. Ini adalah panggilan spiritual dan moral untuk mendesain ulang fondasi negara, bukan hanya memperbaiki atap yang bocor atau mengecat tembok yang retak.
Cak Nun menawarkan "Konstitusi Langit", sebuah gagasan yang mengutamakan kedaulatan rakyat seutuhnya. Negara bukan hanya administrasi kekuasaan, melainkan amanah sakral untuk melindungi, melayani, dan memuliakan rakyat sebagai pemilik sejati kedaulatan.
Reformasi Tata Negara Sejati harus menyentuh semua lini:
Tahun 2025 menjadi penanda, momentum kebangkitan rakyat untuk merebut kembali hakikat bernegara. Saatnya rakyat tidak lagi hanya menjadi penduduk, tapi kembali menjadi ro‘iyah, pemilik dan pengendali arah negara.
Tidak ada lagi alasan untuk pasrah pada sistem yang rusak. Tidak ada lagi dalih "oknum" untuk menutupi kerusakan struktural. Semua harus kembali kepada nilai-nilai kebenaran, kejujuran, dan keadilan, fondasi utama yang diamanahkan dalam Pancasila dan konstitusi sejati yang lahir dari rahim rakyat.
Ayo, mulai dari kita!
Reformasi sejati bukan hanya mimpi. Jika rakyat mau bersatu dan sadar, 2025 bisa menjadi pintu gerbang perubahan sejarah yang sesung