Berita

Cak Nun: Reformasi Ketatanegaraan Demi Mencegah Pemimpin Gembelengan
Berita Terbaru

Cak Nun: Reformasi Ketatanegaraan Demi Mencegah Pemimpin Gembelengan

Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute

beritax.id - Jika negara kita diibaratkan sebagai sebuah rumah, maka saat ini kondisinya sangat memprihatinkan. Atap bocor di mana-mana, membuat penghuni terus-menerus kebasahan oleh hujan ketidakadilan. Tembok-tembok lembab dipenuhi jamur korupsi yang menular ke setiap sudut ruang. Saluran air mampet, menampung genangan aspirasi rakyat yang tak pernah mengalir ke pusat pengambilan keputusan. Udara pengap, menyesakkan kebebasan berpikir dan berekspresi. Keramik lantai terkelupas, melukai rakyat kecil yang berjalan di atasnya. Tikus-tikus korupsi merajalela, memakan habis sisa-sisa harapan rakyat. Sudah saatnya dilakukan reformasi ketatanegaraan agar rumah ini tidak lagi dikuasai oleh pemimpin gembelengan yang hanya mementingkan diri sendiri.

Inilah realitas rumah bernama Indonesia hari ini, sebuah negara yang rusak bukan hanya karena salah desain, tetapi juga karena dikelola oleh "tukang" yang sembrono, gembelengan, dan tidak bertanggung jawab.

Dalam acara Refleksi 59 Tahun Indonesia Merdeka di Yogyakarta pada 18 Agustus 2004, Cak Nun (Emha Ainun Nadjib) pernah mengatakan:

"Saya akan ambil Al-Qur’an, ambil beberapa fakta nasional dan internasional untuk menjadi satu rangkuman wacana yang komprehensif. Jadi gundul pacul saya singkat, kita itu mempunyai budaya, watak, perilaku, kecenderungan kepribadian yang gundul pacul. Jadi fooling around, main-main. Lho, pada main-main semua. Pak Amin (Rais) mengatakan nggak serius negara ini. Lha gimana menjelaskannya?, saya mencari gundul pacul tadi. Ketika nyunggi wakul (mengangkat bakul nasi) pun masih gembelengan (sembrono). Milih presiden saja gembelengan, milih presiden kok lihat gantengnya. Cap opo kui."

Pernyataan ini merangkum akar masalah besar bangsa: kita memilih pemimpin secara gembelengan, main-main, tanpa kesungguhan moral dan intelektual.

Akibatnya, yang kita dapat bukanlah sosok negarawan yang bijaksana, melainkan "penguasa" yang hanya piawai bermain citra. Negara pun menjadi rumah yang rapuh, tempat rakyat hanya sebagai "penyewa" yang setiap saat bisa diusir atau diperas. Rakyat dianggap penduduk pasif, bukan pemilik kedaulatan yang harus dilayani.

Mengapa kita perlu reformasi ketatanegaraan?

Karena struktur negara yang salah akan terus melahirkan pemimpin gembelengan. Sistem yang tidak mengutamakan rakyat sebagai pusat kedaulatan akan selalu membuka ruang bagi lahirnya Sengkuni-Sengkuni baru, yang licik dan penuh tipu daya.

Dalam Al-Qur’an, kepemimpinan adalah amanah, bukan ajang main-main. Seorang pemimpin wajib adil, siddiq (jujur), amanah, tabligh (menyampaikan kebenaran), dan fathanah (cerdas). Sayangnya, dalam sistem sekarang, kualitas-kualitas itu justru diabaikan.

Cak Nun telah menawarkan jalan spiritual dan moral: reformasi total ketatanegaraan.

Reformasi ini bukan hanya soal mengubah pasal-pasal atau struktur lembaga, tetapi juga menata ulang niat, mental, dan budaya kepemimpinan. Dengan sistem yang baru, kita menanamkan kembali kedaulatan di tangan rakyat. Bukan hanya formalitas dalam konstitusi, tetapi nyata dalam praktik politik, hukum, dan pemerintahan.

Jika tidak segera diubah, maka kerusakan rumah ini akan semakin parah. Rakyat akan terus basah kuyup oleh ketidakadilan, dan bangsa ini akan semakin jauh dari cita-cita luhur: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Mari kita hentikan budaya gembelengan. Mari kita bangun rumah kita dengan fondasi konstitusi yang berlandaskan kedaulatan rakyat dan bimbingan moral spiritual. Inilah jihad modern, inilah perjuangan suci kita bersama: mengembalikan rumah Indonesia agar menjadi tempat aman, adil, dan menyejahterakan.