Berita

Publik Murka, Benarkah Sri Mulyani di Balik Naiknya Gaji DPR?
Berita Terbaru

Publik Murka, Benarkah Sri Mulyani di Balik Naiknya Gaji DPR?

Gelombang kemarahan rakyat membuncah. Ribuan massa turun ke jalan di berbagai kota dari Jakarta, Yogyakarta, Semarang, hingga Makassar, menyuarakan ketidakadilan sosial yang kian terasa. Di tengah tekanan ekonomi yang melilit masyarakat, publik dikejutkan oleh kabar kenaikan gaji dan tunjangan anggota DPR RI, yang disambut euforia oleh para wakil rakyat dengan berjoget-joget dalam video yang viral. Ironis, pesta para elite digelar saat rakyat tercekik biaya hidup.

Salah satu titik puncak dari amarah publik terjadi pada 31 Agustus 2025, ketika rumah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan, dilaporkan dirusak dan dijarah oleh sekelompok orang tak dikenal. Insiden itu seolah menjadi simbol ledakan kekecewaan terhadap pemerintah pusat, khususnya terhadap mereka yang dianggap sebagai arsitek utama kebijakan fiskal.

Akar Ledakan Kemarahan

Demo akbar yang berlangsung sejak 25 Agustus dipicu oleh beberapa hal. Pertama, keputusan kenaikan gaji DPR dinilai sangat tidak sensitif terhadap kondisi ekonomi rakyat. Kedua, video viral anggota DPR yang berjoget pasca pengumuman gaji baru menyulut emosi publik.

Lebih jauh, insiden tewasnya seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, yang ditabrak kendaraan taktis Brimob dalam aksi unjuk rasa di Jakarta pada 28 Agustus, memperuncing emosi rakyat. Ditambah pernyataan kontroversial dari beberapa anggota DPR, mulai dari Ahmad Sahroni, Adies Kadir, hingga selebritas-politisi seperti Nafa Urbach, Uya Kuya, dan Eko Patrio, yang dianggap meremehkan penderitaan rakyat, membuat gelombang protes kian tak terbendung.

Prosedur Kenaikan Gaji: Peran Sentral Kementerian Keuangan

Secara administratif, kenaikan gaji dan tunjangan DPR memang melewati prosedur formal. Namun, banyak pihak mempertanyakan urgensi dan moralitas dari kebijakan tersebut.

Skema umumnya bermula dari usulan teknis oleh lembaga terkait atau Kementerian PAN-RB. Namun, tahapan krusial berikutnya ada di tangan Kementerian Keuangan, di mana Sri Mulyani berperan sebagai Bendahara Umum Negara (BUN). Di sinilah posisinya menjadi sorotan tajam.

Melalui perhitungan fiskal, Sri Mulyani-lah yang menyusun proyeksi dampak terhadap APBN. Tak hanya menghitung, Kemenkeu juga merekomendasikan kepada Presiden apakah suatu usulan bisa dilanjutkan. Setelah disetujui Presiden dan ditetapkan lewat Peraturan Pemerintah atau Keputusan Presiden, kembali lagi kepada Sri Mulyani melalui Kemenkeu untuk menerbitkan aturan teknis pencairan anggaran melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK).

Mengapa Sri Mulyani yang Disorot?

Karena perannya yang sangat vital dalam kebijakan anggaran negara. Tak ada kenaikan gaji pejabat, termasuk DPR, yang dapat direalisasikan tanpa restu fiskal dari Menteri Keuangan. Dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Sri Mulyani selaku Menkeu memegang kuasa sebagai Bendahara Umum Negara.

Ia juga bertanggung jawab dalam pengelolaan belanja negara, termasuk belanja pegawai DPR yang tercantum dalam RAPBN dan Nota Keuangan. Bahkan pada tahap teknis, PMK yang diterbitkan oleh Kemenkeu menjadi dasar pencairan ke lembaga terkait. Dengan kata lain, Sri Mulyani bukan sekadar pelaksana, tapi penentu utama kelayakan fiskal atas setiap kebijakan keuangan negara.

Banjir Kritik & Sorotan Hukum

Dalam konteks ini, wajar jika berbagai pihak kini menyorot Sri Mulyani sebagai aktor sentral di balik kenaikan gaji DPR. Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI), Rinto Setiyawan, menyebut bahwa Sri Mulyani bukan sekadar melakukan blunder fiskal, tetapi juga melawan konstitusi dan mencederai akuntabilitas publik. Ia mempertanyakan bagaimana bisa kebijakan yang begitu memicu kegaduhan sosial tidak melalui dialog publik, apalagi dalam situasi defisit anggaran dan rendahnya daya beli masyarakat.

Sementara itu, Dr. Alessandro Rey, Ketua Umum Perkumpulan Profesi Pengacara dan Praktisi Pajak Indonesia (P5I), menilai Sri Mulyani adalah menteri yang tidak memahami hukum perpajakan secara menyeluruh, hanya fokus pada penerimaan, tanpa memperhatikan aspek hukum dan keadilan sosial.

Efek Sosial dan Krisis Kepercayaan

Ledakan kemarahan rakyat bukan hanya soal uang. Ini soal keadilan yang terasa jauh, saat para pejabat bersuka cita dalam pesta-pesta anggaran, sedangkan rakyat berjuang menafkahi keluarga dengan pendapatan yang menipis. Aksi-aksi demonstrasi yang semula berlangsung damai, berubah panas karena dianggap tidak digubris oleh elit politik.

Krisis kepercayaan ini makin dalam ketika permintaan informasi publik yang diajukan oleh IWPI melalui PPID Kemenkeu tidak dijawab secara tuntas. Masyarakat menilai sistem semakin tertutup dan tidak akuntabel.

Penutup: Legal Tapi Tidak Legitim

Kenaikan gaji DPR memang legal secara prosedural, namun publik menilainya sebagai tidak adil secara moral. Di tengah krisis ekonomi, kenaikan itu menjadi simbol dari pemisahan antara elite dan rakyat. Sri Mulyani, sebagai pengendali fiskal, memegang tanggung jawab besar atas hal ini.

Pertanyaan terbesar rakyat hari ini adalah:
“Untuk siapa negara ini bekerja? Untuk pejabat atau untuk rakyat?”