Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id - Ketika rumah pribadi Menteri Keuangan Sri Mulyani di Bintaro dijarah pada 31 Agustus 2025, publik pun terbagi dua. Ada yang menyayangkan, ada pula yang melihat peristiwa itu sebagai puncak dari kemarahan rakyat yang sudah lama terpendam. Dalam unggahan media sosialnya, Sri Mulyani menulis panjang lebar soal pentingnya demokrasi yang beradab, menolak anarki, membela konstitusi, dan mengajak publik membangun bangsa dengan etika dan moralitas luhur.
Namun, seruan idealisme itu justru membuka ruang bagi pertanyaan yang lebih mendasar. Apakah Sri Mulyani sendiri telah menjunjung adab dalam menjalankan fiskal negara?
Adab Fiskal: Konsep yang Hilang di Tengah Krisis
Di tengah kemiskinan yang meluas, harga kebutuhan pokok yang melambung, dan daya beli rakyat yang tertekan, pemerintah justru diam-diam menaikkan gaji dan tunjangan anggota DPR. Bukan hanya naik, gaji tetap anggota DPR bahkan tidak dipotong pajak. Artinya, ketika rakyat diminta terus berkorban dan membayar pajak, dengan sistem yang makin represif. Para wakil rakyat justru di "entertain" oleh negara, lengkap dengan joget-joget di ruang parlemen pasca-pengumuman kenaikan tunjangan.
Siapa yang menyusun anggaran kenaikan itu? Siapa yang menyetujui dan mencairkan dana dalam struktur APBN? Jawabannya satu: Kementerian Keuangan di bawah Sri Mulyani. Sebagai Bendahara Umum Negara, ia adalah pintu utama semua alokasi fiskal, termasuk untuk belanja pegawai, termasuk untuk DPR. Tanpa restu fiskal dari Menteri Keuangan, usulan kenaikan gaji takkan pernah lolos ke meja Presiden.
Beradab Secara Demokratis, Tapi Otoriter Secara Fiskal?
Dalam pernyataannya, Sri Mulyani menekankan bahwa sebagai pejabat negara, dirinya disumpah untuk menjalankan UUD 1945 dan seluruh undang-undang yang berlaku. Namun rakyat yang paham dan melek hukum justru bertanya: apakah Sri Mulyani benar-benar memahami hukum perpajakan itu sendiri?
Karena yang terjadi selama ini, praktik hukum perpajakan di bawah kewenangannya penuh tumpang tindih, ribuan aturan dan ratusan ribu pasal yang bahkan bertabrakan satu sama lain. UU Administrasi Pemerintahan yang seharusnya menjadi rujukan utama dalam menjalankan kewenangan fiskal seringkali diabaikan oleh Direktorat Jenderal Pajak, bahkan tak diakui oleh hakim di pengadilan pajak. Anehnya, pelanggaran ini seolah dilindungi oleh sistem yang ia pimpin.
Lebih ironis lagi, kolom komentar di akun media sosial Sri Mulyani dimatikan, membatasi ruang publik untuk menanggapi pernyataan yang ia klaim sebagai bentuk akuntabilitas. Dalam sistem demokrasi yang sehat, pejabat publik seharusnya membuka ruang dialog, bukan sekadar monolog dalam unggahan Instagram.
Adab yang Memihak, atau Adab yang Berjarak?
Masyarakat tidak menuntut kesempurnaan. Tapi mereka menuntut keadilan dan empati. Ketika rakyat menjerit karena pajak UMKM yang makin mencekik. Ketika mahasiswa turun ke jalan karena orang tuanya tak sanggup lagi membayar biaya kuliah, ketika ojol meregang nyawa di tengah aksi damai. Sementara elit politik dan birokrat merayakan kenaikan gaji, maka pertanyaannya bukan lagi soal siapa yang beradab, tapi siapa yang benar-benar mendengarkan jeritan rakyat?
Sri Mulyani bisa saja menyampaikan permintaan maaf, bisa menyampaikan doa, bisa menyusun kata-kata indah tentang moralitas. Tapi rakyat tidak hidup dari narasi. Mereka hidup dari keadilan fiskal yang nyata: sistem pajak yang tidak eksploitatif, kebijakan yang berpihak, dan pengakuan bahwa rakyat bukan mesin ATM negara.
Kesimpulan:
Jika Sri Mulyani ingin bangsa ini beradab, maka ia harus mulai dari tempatnya berdiri, dari ruang-ruang fiskal yang ia kendalikan. Karena demokrasi tidak bisa hanya dikutip saat dirugikan. Demokrasi adalah tentang keadilan, tanggung jawab, dan keberanian untuk memihak rakyat, bukan untuk melayani oligarki, elit penguasa, dan elit partai politik.