Berita

DPR Itu Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Penindas Rakyat?
Berita Terbaru

DPR Itu Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Penindas Rakyat?

DPR: Dewan Penindas Rakyat?

DPR seharusnya menjadi Dewan Perwakilan Rakyat. Namun kenyataannya, publik justru lebih sering merasakan wajah lain yaitu Dewan Penindas Rakyat. Saat jutaan rakyat hanya mampu makan sekali sehari dengan upah Rp20 ribu, para wakil rakyat menikmati penghasilan setara Rp3 juta per hari. Ironinya, ketika isu itu mencuat, yang muncul justru video anggota DPR berjoget riang. Joget di tengah penderitaan rakyat. Joget di atas keringat buruh, nelayan, petani, dan pedagang kecil.

Klarifikasi pun datang. Katanya bukan kenaikan gaji, hanya kompensasi rumah. Namun rakyat sudah terlalu sering ditipu dengan permainan istilah. Entah disebut tunjangan, fasilitas, atau kompensasi. Ujungnya tetap saja uang rakyat yang mengalir ke kantong pejabat. Jika DPR benar-benar mewakili rakyat, yang seharusnya dipikirkan adalah kesejahteraan konstituen, bukan kenyamanan pribadi.

Kursi parlemen adalah simbol amanah rakyat, bukan singgasana untuk berpesta. Tapi yang tampak justru sebaliknya: rakyat diminta sabar, sementara wakilnya bersenang-senang. Maka wajar bila publik bertanya, apakah DPR ini masih Dewan Perwakilan Rakyat, atau sudah berubah menjadi Dewan Penindas Rakyat?

Joget di Atas Derita, DPR Masih Pantas Disebut Perwakilan?

Video anggota DPR berjoget di tengah isu penghasilan fantastis mereka menjadi potret jelas jarak penguasa dengan rakyat. Di luar gedung megah, jutaan orang hidup dengan Rp20 ribu sehari. Di dalam gedung, wakil rakyat tersenyum dan bergoyang, seolah tak ada masalah.

Rakyat tidak butuh joget. Tidak butuh istilah manis seperti “kompensasi rumah.” Yang rakyat butuh adalah sembako murah, pendidikan layak, dan akses kesehatan yang manusiawi. Namun yang ditunjukkan wakilnya justru pesta di atas penderitaan.

Perwakilan sejati lahir dari keberpihakan. Jika wakil rakyat lebih sibuk menghitung tunjangan ketimbang menghitung berapa banyak rakyat yang masih lapar, maka wajar bila mereka disebut bukan lagi Dewan Perwakilan Rakyat, melainkan Dewan Penindas Rakyat.

Kompensasi untuk Mereka, Kesengsaraan untuk Kita

“Kompensasi” mendadak jadi mantra baru di parlemen. Katanya bukan kenaikan gaji. Padahal bagi rakyat, apapun namanya: gaji, tunjangan, atau fasilitas, tetap saja uang dari pajak rakyat. Uang yang diperas dari keringat petani, nelayan, buruh, dan pedagang kecil.

Ketika rakyat terjepit kebutuhan pokok, DPR justru berpesta dengan kompensasi puluhan juta rupiah per bulan. Kontras ini melukai logika keadilan: bagaimana bisa rakyat yang lapar dipaksa membiayai kenyamanan hidup wakilnya? Setiap rupiah untuk kompensasi seharusnya bisa dipakai memperbaiki sekolah roboh, membangun puskesmas, atau menambah subsidi pangan.

Jika kondisi ini terus dibiarkan, DPR tidak lagi pantas disebut rumah rakyat. Yang tersisa hanyalah gedung megah berisi orang-orang yang sibuk menumpuk kenyamanan pribadi di atas penderitaan bangsanya sendiri.

Kursi Empuk Parlemen, Punggung Rakyat yang Terkorbankan

Kursi parlemen bukan sekadar tempat duduk, melainkan amanah jutaan rakyat. Namun kini kursi itu lebih mirip singgasana mewah. Di luar gedung, rakyat bekerja seharian dan pulang hanya dengan Rp20 ribu. Di dalam gedung, wakil rakyat menikmati penghasilan setara Rp3 juta per hari ditambah berbagai fasilitas.

Dan ketika isu kompensasi mencuat, bukannya empati yang ditunjukkan, melainkan tayangan joget. Joget itu simbol betapa jauhnya mereka dari realitas rakyat. Demokrasi berubah jadi ironi: rakyat dijadikan tangga untuk meraih kursi empuk, lalu setelah sampai, tangga itu ditendang.

Tanpa kesadaran bahwa setiap rupiah berasal dari keringat rakyat, kursi parlemen bukan lagi kursi perwakilan, melainkan kursi pengkhianatan.

Solusi dari Partai X

Partai X menilai, DPR yang lebih sibuk mempertahankan kenyamanan kursinya daripada membela kepentingan rakyat adalah penyakit yang harus diobati. Maka, solusi yang ditawarkan:

  1. Musyawarah Kenegarawanan Nasional oleh 4 Pilar Negara, meliputi Kaum Intelektual, Kaum Agama, Kaum TNI/Polri, dan Kaum Budaya sebagai ruang persatuan visi bangsa untuk membuat desain Struktur Ketatanegaraan yang baru.
  2. Membuat draft Amandemen Kelima UUD 1945 untuk mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat.
  3. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) untuk mengawal transisi dan mengesahkan Amandemen Kelima UUD 1945.
  4. Pemisahan tegas negara dan pemerintah agar negara tak ikut runtuh bersama rezim.
  5. Pemaknaan ulang Pancasila sebagai pedoman operasional, bukan slogan.
  6. Pembubaran partai politik yang tidak mendidik rakyat.
  7. Reformasi hukum berbasis kepakaran agar hukum tidak lagi bisa dibeli.
  8. Transformasi birokrasi digital untuk memutus rantai korupsi.
  9. Pendidikan politik di sekolah agar generasi berikutnya tidak buta konstitusi.

Dengan langkah-langkah ini, kursi parlemen bisa kembali pada fungsinya sebagai kursi perjuangan, bukan kursi pengkhianatan.