Oleh: Rinto Setiyawan , A.Md., S.H., CTP
Ketua Umum IWPI, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
Ada kegelisahan mendasar yang pernah disampaikan Cak Nun:
“Bangsa ini kok tidak mengalami pembusukan, padahal sistem politik dan ketatanegaraannya salah kaprah?”
Pertanyaan itu terasa semakin relevan hari ini. Hampir setiap hari publik Indonesia disuguhi cerita tentang rusaknya hukum, carut-marut politik, ketimpangan ekonomi, dan lemahnya tata kelola negara. Anehnya, alih-alih mendorong perbaikan sistemik, cerita-cerita tersebut justru berputar tanpa ujung dan sering kali dinikmati sebagai tontonan massal.
Di titik inilah kita perlu jujur mengakui satu hal: kerusakan negara telah berubah menjadi komoditas media.
Media nasional baik cetak maupun online serta industri konten digital seperti YouTube, podcast, dan media sosial, secara masif mengamplifikasi narasi kebusukan negara. Judul sensasional, konflik elite, dan potongan kegagalan sistemik terbukti mendatangkan klik, viewer, subscriber, dan iklan. Semakin rusak ceritanya, semakin tinggi atensi publik. Semakin gaduh narasinya, semakin besar keuntungan yang mengalir.
Kritik tentu penting dalam demokrasi. Namun ketika kritik diproduksi dan dikonsumsi semata sebagai komoditas, maka terjadi pergeseran orientasi: dari upaya memperbaiki negara menjadi upaya memelihara cerita tentang kerusakan negara.
Dalam kerangka ini, respons masyarakat terhadap kondisi bangsa dapat dibaca melalui analogi biologis yang sederhana namun tajam:
Masalah Indonesia hari ini bukan kekurangan kritik, melainkan kelebihan konsumsi cerita kerusakan tanpa keberanian masuk ke wilayah solusi. Diskursus publik menjadi timpang: kemarahan berlimpah, tetapi pengetahuan kenegarawanan minim; kritik viral, tetapi gagasan pembenahan sistem sepi peminat.
Dalam konteks inilah Sekolah Negarawan hadir dengan posisi yang berbeda. Ia tidak menawarkan sensasi, melainkan kerja intelektual jangka panjang. Upaya ini menempatkan diri sebagai sel imun—bahkan produsen regenerasi jaringan—dengan menyusun rancangan akademik dan naskah Rancangan Amandemen Kelima UUD NRI 1945 sebagai ikhtiar pembenahan sistemik, bukan sekadar retorika.
Tentu jalan ini tidak populer. Solusi memang tidak pernah seatraktif masalah. Mempelajari sistem, menyusun desain konstitusi, dan membangun kesadaran kenegarawanan tidak menghasilkan viewer instan. Namun justru di situlah letak perbedaannya: antara mereka yang hidup dari kerusakan dan mereka yang ingin menyembuhkan bangsa.
Pertanyaan akhirnya kembali kepada kita semua media, kreator, dan warga negara:
apakah kita ingin terus menjadikan kerusakan Indonesia sebagai komoditas yang menguntungkan, atau mulai beralih menjadikannya pelajaran kolektif untuk membangun sistem yang lebih adil dan beradab?
Sebab bangsa ini tidak akan runtuh hanya karena dikritik. Tetapi ia bisa mandek, bahkan perlahan mati, jika terlalu banyak yang menikmati bau kerusakan dan terlalu sedikit yang mau menjadi sel imun bagi masa depannya.