Setelah tumbangnya rezim Orde Baru yang dipimpin Soeharto selama lebih dari tiga dekade, Indonesia masuk ke era baru: Era Reformasi. Suasananya waktu itu campur aduk. Di satu sisi, ada euforia kebebasan. Orang bisa lebih bebas berpendapat, pers nggak lagi dibungkam. (Eh tapi juga sekarang dibungkam-bungkam aja buktinya TikTok kemarin sampe gabisa live pas demo). Intinya di sisi lain, keadaan waktu itu juga penuh ketidakpastian. Pemerintahan goyah, institusi demokrasi masih belajar berdiri, dan perebutan kekuasaan terjadi di mana-mana.
Di tengah situasi kayak gitu, muncullah Abdurrahman Wahid, atau yang lebih dikenal dengan Gus Dur. Latar belakangnya adalah seorang intelektual Islam, pemimpin besar Nahdlatul Ulama, dan dikenal dengan pandangan yang pluralis. Gus Dur punya visi tentang masyarakat yang adil dan menghormati perbedaan. Karena itu, banyak yang kemudian menyebutnya sebagai “Bapak Pluralisme.”
Tapi, terpilihnya Gus Dur jadi presiden sebenarnya bukan hal yang diprediksi banyak orang. Kemenangan itu datang dari manuver sebuah koalisi rapuh bernama Poros Tengah, yang berhasil menyingkirkan kandidat kuat saat itu, Megawati Soekarnoputri. Jadi bisa dibilang, Gus Dur naik ke kursi presiden bukan lewat jalan mulus, tapi lewat kompromi yang rapuh.
Awalnya, banyak orang menaruh harapan besar. Tapi gaya kepemimpinan Gus Dur yang nyentrik, spontan, dan sulit ditebak sering bikin para pejabat gerah. Hubungan dengan lawan-lawannya juga makin lama makin panas.
Puncaknya, muncul dua kasus besar: Buloggate dan Bruneigate. Dari luar, kedua kasus ini terlihat seperti skandal korupsi. Tapi kalau ditelusuri lebih dalam, kasus-kasus ini sebenarnya lebih ke alat perebutan kekuasaan. Lawan-lawan Gus Dur memanfaatkan skandal ini sebagai senjata, alasan untuk menyerangnya, bahkan upaya menjatuhkannya dari kursi presiden.
Dua skandal yang paling sering disebut waktu ngomongin kejatuhan Gus Dur adalah Buloggate dan Bruneigate. Dari luar, keduanya terlihat kayak kasus korupsi. Tapi kalau dilihat lebih dekat, ceritanya nggak sesederhana itu.
Kita jelasin dulu tentang Buloggate yaa….
Kasus ini berawal dari dana yayasan pegawai Bulog, namanya Yanatera. Dimana, disitu ada pencairan dana sebesar Rp 35 miliar. Sebenarnya uang ini cairnya lewat Sapuan, Wakil Kepala Bulog. Uangnya kemudian diterima sama Soewondo, tukang pijat pribadi Gus Dur, yang entah gimana bisa ikut masuk ke lingkaran istana.
Lalu, gimana dengan Gus Dur? Oposisi bilangnya dia terlibat. Tapi buktinya nggak ada. Malah, waktu diminta bikin keputusan resmi supaya dana bisa dicairkan, Gus Dur menolak. Setelah itu, Soewondo ngotot bilang ke pejabat Bulog kalau ini “perintah presiden,” padahal jelas nggak ada bukti Gus Dur yang nyuruh. Uang pun akhirnya masuk ke Soewondo dengan dalih “pinjaman pribadi.”
Sementara kasus kedua yaitu Bruneigate agak beda. Dimana kasus ini berawal dari Sultan Brunei, Hassanal Bolkiah, yang memberikan sumbangan pribadi sebesar US$2 juta ke Gus Dur. Tujuannya untuk bantuan kemanusiaan di Aceh.
Masalahnya muncul karena pengelolaan dan penjelasan soal uang ini nggak jelas. Gus Dur sendiri beberapa kali ngasih pernyataan yang berbeda, yang akhirnya membuat orang-orang jadi curiga. Tapi sekali lagi, nggak ada bukti uang itu dikorupsi. Jaksa Agung juga sudah bilang kalau itu hibah pribadi, bukan uang negara.
Dan di balik semua drama itu, ada satu nama penting yang ikut masuk ke pusaran cerita: Sri Mulyani Indrawati, menteri keuangan Indonesia sekarang ini. Perannya dalam kejadian itu jadi salah satu kunci untuk memahami bagaimana akhirnya Gus Dur bisa dimakzulkan.
Sri Mulyani Indrawati, di masa pemerintahan Gus Dur, tepatnya tahun 1999 sampai 2001, merupakan satu sosok ekonom yang namanya udah sangat disegani. Saat itu, Bu Sri menjabat sebagai Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi UI, atau lebih dikenal dengan LPEM FE UI. Lembaga ini adalah salah satu think tank ekonomi paling berpengaruh di Indonesia.
Karier Sri Mulyani makin menanjak ketika ia ditarik masuk ke lingkaran dalam pemerintahan, sebagai penasihat di Dewan Ekonomi Nasional (DEN). Dari posisi ini, ia jadi punya akses langsung ke berbagai informasi strategis, sekaligus kesempatan untuk memberikan masukan langsung ke presiden dan kabinet. Yang mana kala itu, yang jadi Presidennya adalah Gus Dur. Dengan kata lain, Sri Mulyani bukan lagi sekadar akademisi tapi juga insider atau orang dalam yang dipercaya untuk ikut merumuskan arah kebijakan ekonomi negara.
Tapi, justru posisi inilah yang nantinya bikin namanya ikut terseret. Kedekatannya dengan lingkaran kekuasaan membuat sebagian pihak menduga bahwa Sri Mulyani berperan dalam “pengkhianatan dari dalam.”
September 2000, DPR membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelidiki skandal Buloggate dan Bruneigate. Tapi sejak awal, Pansus ini bukan lembaga yang netral. Menurut beberapa sumber berita ya, dari cara kerjanya Pansus ini kelihatan banget kalau tujuannya sudah jelas yaitu cari cara supaya presiden alias Gus Dur dinyatakan bersalah.
Masalahnya, Pansus butuh sesuatu yang bisa bikin mereka kelihatan kredibel. Nggak cukup hanya dengan tuduhan omon-omon, mereka perlu dasar intelektual atau semacam analisis akademis yang bisa memberi bobot pada argumen mereka.
Nah, di sinilah nama Sri Mulyani ikut terseret. Tuduhan paling keras datang dari Adhie Massardi, juru bicara resmi Gus Dur waktu itu. Adhie menyebut kalau Bu Sri dan timnya di LPEM FEUI yang membuat “naskah akademis” untuk DPR.
Menurut Adhie, naskah ini jadi semacam “senjata” buat Pansus atau dokumen yang memecah persoalan keuangan rumit menjadi narasi jebakan yang lebih gampang dipahami. Dan intinya, diarahkan ke kesimpulan bahwa Gus Dur bersalah.
Dengan kata lain, Sri Mulyani dituduh sebagai pihak yang memberikan amunisi intelektual bagi DPR untuk melegitimasi proses konstitusional yang sebenarnya sudah cacat sejak awal. Lagi-lagi ya supaya Gus Dur dilengserkan.
Pada waktu itu, ternyata Sri Mulyani juga dekat dengan Arifin Panigoro. Sri Mulyani dikenal sebagai peserta rutin dalam diskusi-diskusi intelektual yang sering digelar di rumah Arifin. Dari situ, ia otomatis berada dalam lingkaran yang sangat dekat dengan pusat pergerakan pemerintahan saat itu.
Jadi, Arifin Panigoro ini adalah seorang pengusaha minyak kaya raya sekaligus politisi PDI-P. Banyak yang menyebut Arifin sebagai arsitek utama gerakan pemakzulan Gus Dur. Perannya sangat sentral karena ia mendirikan dan menggerakkan Forum Lintas Fraksi, sebuah wadah koordinasi informal, semacam “dapur rahasia” tempat partai-partai di DPR berkumpul, merancang strategi, dan mengatur langkah-langkah detail untuk menjatuhkan presiden.
Kedekatan Sri Mulyani dengan Arifin inilah yang kemudian membuat tuduhan Adhie Massardi terasa masuk akal bagi sebagian orang. Jika benar ada “naskah akademis” dari LPEM FEUI yang dipakai DPR untuk menyerang Gus Dur.
Dengan dukungan intelektual yang diduga datang dari Sri Mulyani dan timnya, para pejabat di DPR pun bergerak dengan penuh percaya diri. Di panggung depan, ada Amien Rais sebagai Ketua MPR dan Akbar Tandjung sebagai Ketua DPR, yang memastikan setiap langkah prosedural berjalan rapi, mulai dari pembentukan Pansus, hingga keluarnya Memorandum I dan II. Di balik layar, Arifin Panigoro memastikan koalisi lintas fraksi tetap solid.
Semua itu mencapai puncaknya pada 23 Juli 2001, ketika Sidang Istimewa MPR resmi memakzulkan Presiden Abdurrahman Wahid.
Di titik inilah narasi jadi lebih dari sekadar cerita tentang kalah-menang dalam perebutan kekuasaan. Ada unsur “penghinaan” yang dirasakan. Gus Dur, seorang presiden yang dikenal sangat dekat dengan para intelektual dan teknokrat, justru diduga dijatuhkan dengan “peluru” yang datang dari kalangan itu sendiri. Tuduhan bahwa Sri Mulyani ikut menyediakan amunisi intelektual bagi lawan-lawan Gus Dur membuat luka itu semakin dalam. Bagi banyak orang, itu bukan sekadar oposisi, tapi pengkhianatan dari dalam.
Bertahun-tahun kemudian, sejarah memberi semacam pemulihan nama baik. MPR mencabut TAP MPR yang dulu jadi dasar pemakzulan Gus Dur, sebuah pengakuan tidak langsung bahwa proses 2001 memang cacat sejak awal. Tapi, peristiwa ini tetap meninggalkan pelajaran pahit dimana demokrasi bisa dengan mudah dimanipulasi, dan kepercayaan yang diberikan pada seorang ahli bisa berbalik menjadi senjata yang menghancurkan.
Sekali lagi kisah ini disampaikan berdasarkan berbagai sumber artikel ya. Kalau misal kalian punya opini sendiri atau bahkan riset-riset mendalam tentang kasus ini bisa banget dikirimkan ke email [email protected].