Berita

Ketidaksesuaian Sistem Presidensial dengan Prinsip-Prinsip Governance Modern
Berita Terbaru

Ketidaksesuaian Sistem Presidensial dengan Prinsip-Prinsip Governance Modern

Oleh: Rinto Setiyawan , A.Md., S.H., CTP
Ketua Umum IWPI, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute

Dalam dunia manajemen modern, ada satu pelajaran sederhana tapi keras kalau mau organisasi sehat, kekuasaan tidak boleh ditumpuk di satu tangan. Perusahaan besar, bank, rumah sakit, lembaga sosial semuanya dipaksa tunduk pada prinsip good governance. Ada pemegang keputusan tertinggi, ada organ pengurus (manajemen), ada organ pengawas. Fungsinya dipisah, kewenangannya dibatasi, dan mekanisme saling kontrol dirancang sedemikian rupa supaya tidak ada satu orang atau satu posisi yang bisa menjadi “tuhan kecil” di dalam organisasi.

Ironinya: standar yang sudah jadi hukum besi di dunia korporasi ini, justru tidak dipakai ketika kita bicara desain kekuasaan negara khususnya dalam sistem pemerintahan presidensial seperti Indonesia. Di atas kertas, sistem presidensial dipoles dengan istilah “checks and balances”. Tapi kalau dilihat dengan kacamata governance modern, sistem ini justru bertentangan dengan prinsip dasar tata kelola yang sehat.

Tiga Organ Governance: Pelajaran Dasar yang Diabaikan Negara

Kalau kita sederhanakan, governance modern selalu bertumpu pada tiga organ utama:

1. Organ No.1 – Pengambil Keputusan Tertinggi

Di perusahaan, ini adalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau para pemilik modal.
Merekalah pemegang mandat tertinggi yang:

  • berhak menentukan arah besar perusahaan,
  • mengangkat dan memberhentikan direksi maupun komisaris,
  • memutuskan kebijakan sangat fundamental.

Di negara, padanannya adalah rakyat sebagai pemegang kedaulatan, yang sering dipersonifikasikan dalam bentuk kepala negara sebagai simbol kedaulatan dan penjaga konstitusi.

Intinya: Organ No.1 adalah sumber legitimasi, bukan pelaksana teknis.

2. Organ No.2 – Pengurus atau Manajemen Pelaksana

Di perusahaan, ini adalah Direksi:

  • mengelola operasional harian,
  • menjalankan strategi,
  • bertanggung jawab atas kinerja bisnis sehari-hari.

Di negara, ini adalah kepala pemerintahan (perdana menteri dalam sistem parlementer) dan kabinet:

  • menyusun dan menjalankan kebijakan,
  • mengelola birokrasi, anggaran, dan program,
  • menjadi “dapur” teknis pemerintahan.

Organ No.2 inilah “mesin” yang bekerja setiap hari.

3. Organ No.3 – Pengawas atau Dewan Kontrol

Di perusahaan, ini adalah dewan komisaris, komite audit, auditor internal maupun eksternal:

  • mengawasi direksi,
  • menilai apakah pengelolaan sesuai mandat dan aturan,
  • mengingatkan dan menghentikan bila ada penyimpangan.

Di negara, bentuknya:

  • parlemen,
  • lembaga audit negara,
  • peradilan,
  • dan institusi penegak hukum lain.

Merekalah rem dan alarm: memastikan pelaksana tidak seenaknya, dan mandat Organ No.1 tetap dihormati.

Dalam governance modern, tiga organ ini harus dipisahkan secara fungsi.
Begitu Organ No.1 (pemegang keputusan tertinggi) digabung dengan Organ No.2 (pelaksana harian), konflik kepentingan langsung lahir secara struktural. Kalau dalam perusahaan:

RUPS (pemegang keputusan tertinggi) dijadikan satu dengan Direksi (pelaksana),

semua ahli tata kelola akan bilang:

“Ini bukan perusahaan sehat, ini bom waktu.”

Sistem Presidensial: Ketika Organ No.1 Disatukan dengan Organ No.2

Sekarang, mari kita lihat negara dengan kacamata yang sama.

Idealnya:

  • Organ No.1 di negara: rakyat sebagai pemegang kedaulatan, yang wajah simboliknya muncul dalam sosok kepala negara—penjaga konstitusi, lambang persatuan, posisi yang berdiri di atas hiruk pikuk politik harian.
  • Organ No.2 di negara: kepala pemerintahan dan kabinet sebagai pelaksana harian, yang bisa jatuh-bangun, diganti, dievaluasi tanpa mengguncang legitimasi negara.

Namun dalam sistem pemerintahan presidensial, seperti di Indonesia, dua organ ini justru disatukan dalam satu figur:

  • Presiden adalah Kepala Negara (membawa aura Organ No.1: simbol kedaulatan, penjaga konstitusi),
    dan sekaligus
  • Presiden adalah Kepala Pemerintahan (Organ No.2: pengelola operasional, pemimpin politik harian, pengendali birokrasi dan anggaran).

Dengan kata lain, dalam satu jabatan yang sama, kita tumpuk:

  • simbol pemegang mandat tertinggi,
  • penentu arah besar,
  • dan pelaksana teknis harian.

Kalau di perusahaan, ini setara dengan:

RUPS + Direksi = satu orang.

Pemilik keputusan tertinggi = pelaksana = pihak yang paling diuntungkan atau dirugikan oleh keputusannya sendiri.

Dalam logika governance modern, ini bukan sekadar “kurang ideal”, ini salah desain dari akar.

Benturan Keras dengan Prinsip Governance Modern

Kalau kita tabrakan sistem presidensial dengan prinsip tata kelola sehat, kelihatan jelas beberapa benturan utama:

1. Mandat Tertinggi Menyatu dengan Pelaksana Harian

Seharusnya:

  • Organ No.1 bisa mengevaluasi dan mengganti Organ No.2 bila gagal.
  • Organ No.2 bekerja di bawah mandat yang bisa dikoreksi.

Dalam presidensial:

  • presiden membawa citra “mandat tertinggi rakyat” sekaligus menjadi manajer pemerintahan,
  • sehingga kritik terhadap presiden jadi mudah dibaca sebagai “kritik terhadap negara”.

Ruang koreksi jadi sempit, karena figur pelaksana dilapisi selimut sakralitas sebagai simbol negara.

2. Konflik Kepentingan yang Mendorong Populisme Fiskal

Ketika pengambil keputusan tertinggi sekaligus pelaksana, ia punya godaan besar untuk:

  • memakai anggaran (termasuk utang) demi citra dan kelangsungan kekuasaan,
  • mengejar proyek besar yang tampak megah, walau secara jangka panjang membebani negara,
  • mengorbankan keseimbangan fiskal demi kepentingan elektoral jangka pendek.

Dalam bahasa governance, ini seperti:

pemilik perusahaan sekaligus direksi yang bebas menulis cek untuk dirinya sendiri tanpa pengawas yang independen.

3. Negara Menjadi Tergantung Figur, Bukan Sistem

Governance modern ingin organisasi kuat karena sistemnya, bukan karena orangnya.

Dalam sistem presidensial, apalagi di negara dengan lembaga pengawas lemah:

  • negara menjadi figur-sentris,
  • setiap pergantian presiden terasa seperti guncangan besar,
  • kebijakan jangka panjang mudah di-reset mengikuti selera penguasa baru.

Padahal idealnya, orang boleh berganti, sistem tetap berdiri.

Lalu Di Mana Kampus, Fakultas Manajemen, dan Hukum Tata Negara?

Di titik ini muncul pertanyaan yang menyakitkan tapi wajar:

Kalau secara governance jelas-jelas cacat, kenapa universitas yang mengajar manajemen dan hukum tata negara cenderung diam?
Padahal isinya doktor dan profesor, punya ilmu, punya otoritas intelektual.

Di ruang kelas, mahasiswa manajemen dan hukum tata negara diajari:

  • pemisahan organ pemegang mandat, pengurus, pengawas,
  • bahaya konsentrasi kekuasaan,
  • pentingnya akuntabilitas dan kontrol.

Mereka tahu bahwa di perusahaan, menggabungkan Organ No.1 dan Organ No.2 adalah bunuh diri lembut secara manajerial.

Tetapi ketika bicara negara, banyak kampus bungkam.
Ada beberapa sebab yang bisa kita baca:

  1. Banyak dosen adalah ASN atau sangat bergantung pada negara.
    Gaji, kenaikan pangkat, jabatan struktural, hibah riset, dan proyek sering kali terkait dengan pemerintah. Mengkritik desain sistem terlalu keras bisa berakibat pada karier dan nafkah.
  2. Sistem reward akademik tidak mendorong mereka mengkritik pondasi.
    Yang dihargai adalah jurnal terindeks, konferensi, angka kredit.
    Menulis kritik fundamental atas sistem negara sering kali tidak “dibayar” dalam bentuk karier akademik.
  3. Mereka disosialisasikan untuk menerima sistem sebagai “given”.
    Presidensial dan UUD 1945 (versi sekarang) diajarkan sebagai seolah-olah sudah “final” dan “paling cocok”. Diskusi sering berhenti di: “bagaimana memperbaiki di dalam sistem ini?”, bukan “apakah desain sistem ini sendiri sudah keliru?”
  4. Yang berani bersuara sering tidak diangkat media.
    Ada akademisi yang kritis, tapi suaranya tenggelam, tidak viral, dan tidak menjadi arus utama wacana publik.

Kombinasi semua ini menghasilkan apa yang bisa disebut “kemunafikan struktural”:
di kelas ngomong good governance, di dunia nyata menerima bad governance sebagai status quo.

Di titik ini, kata-kata Cak Nun terasa mengena: negeri ini seperti dipenuhi kemunafikan, yang dijaga oleh “jin-jin” bukan jin gaib, tapi “jin” kepentingan, ketakutan, dan kenyamanan yang membuat banyak orang paham, namun memilih pura-pura tidak tahu bahwa pondasi negara ini retak.

Filosofi Sandang–Pangan–Papan yang Dibalik

Di sini, masalah kita bukan hanya salah desain, tapi juga cara masyarakat dan elit merasionalisasi kesalahan itu.

Dulu kita mengenal filosofi: sandang, pangan, papan yang mencerminkan bahwa hidup bukan sekadar perut kenyang (pangan), tetapi juga martabat dan kelayakan (sandang), serta tempat hidup yang layak (papan).

Namun dalam praktik bernegara hari ini, urutannya seperti dibalik menjadi:

pangan, sandang, papan

Yang paling penting dulu adalah uang: gaji aman, proyek jalan, fasilitas tetap mengalir. Soal pakaian moral dan konstitusional, nanti dulu.

Kasarnya:

“Nggak apa-apa telanjang secara tata kelola, yang penting tidak kelaparan secara finansial.”

Akademisi diam karena butuh “pangan”.
Birokrat kompromi karena takut kehilangan “pangan”.
Politisi membela desain cacat karena “pangan” mereka justru lahir dari sistem yang buruk.

Negara rela mempertahankan struktur kekuasaan yang jelas-jelas bertentangan dengan governance modern, sejauh aliran anggaran, jabatan, dan kenyamanan tetap aman.
Pangan dijadikan alasan untuk membiarkan sandang kenegaraan robek-robek.

Masalahnya Bukan Hanya di Siapa Presiden, Tapi di Desain Sistemnya

Karena itu, perdebatan kita tidak boleh berhenti di:

“Siapa presidennya?”

Pertanyaan yang lebih jujur dan penting adalah:

“Apakah sistem presidensial yang menyatukan Organ No.1 (mandat tertinggi) dan Organ No.2 (pelaksana harian) ini selaras dengan prinsip governance modern yang kita ajarkan di kelas-kelas manajemen dan hukum tata negara?”

Kalau kita pakai standar yang sama dengan yang diajarkan ke mahasiswa, jawabannya jelas: tidak.

  • Di perusahaan, RUPS dijadikan satu dengan direksi disebut fatal.
  • Di negara, ketika kepala negara dan kepala pemerintahan disatukan dalam satu figur, kita sebut itu “sistem presidensial”, lalu pura-pura lupa bahwa itu problem struktural.

Selama kita mempertahankan desain yang jelas-jelas bertentangan dengan governance modern, kita akan terus mengulang pola yang sama:

  • figur berganti,
  • jargon berubah,
  • tapi cacat pondasinya tetap sama.

Dan bangsa sebesar Indonesia, dengan sejarah, sumber daya, dan martabat yang kita klaim, tidak pantas dikelola dengan standar tata kelola yang bahkan tidak akan kita terima kalau itu diterapkan di perusahaan kecil milik kita sendiri.

Di situlah inti kritik ini berdiri:
bukan hanya presidennya yang harus dikritik, tetapi sistem presidensialnya—karena sejak awal, ia sudah berjalan melawan logika governance modern.