Dalam dunia manajemen modern, ada satu pelajaran sederhana tapi keras kalau mau organisasi sehat, kekuasaan tidak boleh ditumpuk di satu tangan. Perusahaan besar, bank, rumah sakit, lembaga sosial semuanya dipaksa tunduk pada prinsip good governance. Ada pemegang keputusan tertinggi, ada organ pengurus (manajemen), ada organ pengawas. Fungsinya dipisah, kewenangannya dibatasi, dan mekanisme saling kontrol dirancang sedemikian rupa supaya tidak ada satu orang atau satu posisi yang bisa menjadi “tuhan kecil” di dalam organisasi.
Ironinya: standar yang sudah jadi hukum besi di dunia korporasi ini, justru tidak dipakai ketika kita bicara desain kekuasaan negara khususnya dalam sistem pemerintahan presidensial seperti Indonesia. Di atas kertas, sistem presidensial dipoles dengan istilah “checks and balances”. Tapi kalau dilihat dengan kacamata governance modern, sistem ini justru bertentangan dengan prinsip dasar tata kelola yang sehat.
Kalau kita sederhanakan, governance modern selalu bertumpu pada tiga organ utama:
1. Organ No.1 – Pengambil Keputusan Tertinggi
Di perusahaan, ini adalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau para pemilik modal.
Merekalah pemegang mandat tertinggi yang:
Di negara, padanannya adalah rakyat sebagai pemegang kedaulatan, yang sering dipersonifikasikan dalam bentuk kepala negara sebagai simbol kedaulatan dan penjaga konstitusi.
Intinya: Organ No.1 adalah sumber legitimasi, bukan pelaksana teknis.
2. Organ No.2 – Pengurus atau Manajemen Pelaksana
Di perusahaan, ini adalah Direksi:
Di negara, ini adalah kepala pemerintahan (perdana menteri dalam sistem parlementer) dan kabinet:
Organ No.2 inilah “mesin” yang bekerja setiap hari.
3. Organ No.3 – Pengawas atau Dewan Kontrol
Di perusahaan, ini adalah dewan komisaris, komite audit, auditor internal maupun eksternal:
Di negara, bentuknya:
Merekalah rem dan alarm: memastikan pelaksana tidak seenaknya, dan mandat Organ No.1 tetap dihormati.
Dalam governance modern, tiga organ ini harus dipisahkan secara fungsi.
Begitu Organ No.1 (pemegang keputusan tertinggi) digabung dengan Organ No.2 (pelaksana harian), konflik kepentingan langsung lahir secara struktural. Kalau dalam perusahaan:
RUPS (pemegang keputusan tertinggi) dijadikan satu dengan Direksi (pelaksana),
semua ahli tata kelola akan bilang:
“Ini bukan perusahaan sehat, ini bom waktu.”
Sekarang, mari kita lihat negara dengan kacamata yang sama.
Idealnya:
Namun dalam sistem pemerintahan presidensial, seperti di Indonesia, dua organ ini justru disatukan dalam satu figur:
Dengan kata lain, dalam satu jabatan yang sama, kita tumpuk:
Kalau di perusahaan, ini setara dengan:
RUPS + Direksi = satu orang.
Pemilik keputusan tertinggi = pelaksana = pihak yang paling diuntungkan atau dirugikan oleh keputusannya sendiri.
Dalam logika governance modern, ini bukan sekadar “kurang ideal”, ini salah desain dari akar.
Kalau kita tabrakan sistem presidensial dengan prinsip tata kelola sehat, kelihatan jelas beberapa benturan utama:
1. Mandat Tertinggi Menyatu dengan Pelaksana Harian
Seharusnya:
Dalam presidensial:
Ruang koreksi jadi sempit, karena figur pelaksana dilapisi selimut sakralitas sebagai simbol negara.
2. Konflik Kepentingan yang Mendorong Populisme Fiskal
Ketika pengambil keputusan tertinggi sekaligus pelaksana, ia punya godaan besar untuk:
Dalam bahasa governance, ini seperti:
pemilik perusahaan sekaligus direksi yang bebas menulis cek untuk dirinya sendiri tanpa pengawas yang independen.
3. Negara Menjadi Tergantung Figur, Bukan Sistem
Governance modern ingin organisasi kuat karena sistemnya, bukan karena orangnya.
Dalam sistem presidensial, apalagi di negara dengan lembaga pengawas lemah:
Padahal idealnya, orang boleh berganti, sistem tetap berdiri.
Di titik ini muncul pertanyaan yang menyakitkan tapi wajar:
Kalau secara governance jelas-jelas cacat, kenapa universitas yang mengajar manajemen dan hukum tata negara cenderung diam?
Padahal isinya doktor dan profesor, punya ilmu, punya otoritas intelektual.
Di ruang kelas, mahasiswa manajemen dan hukum tata negara diajari:
Mereka tahu bahwa di perusahaan, menggabungkan Organ No.1 dan Organ No.2 adalah bunuh diri lembut secara manajerial.
Tetapi ketika bicara negara, banyak kampus bungkam.
Ada beberapa sebab yang bisa kita baca:
Kombinasi semua ini menghasilkan apa yang bisa disebut “kemunafikan struktural”:
di kelas ngomong good governance, di dunia nyata menerima bad governance sebagai status quo.
Di titik ini, kata-kata Cak Nun terasa mengena: negeri ini seperti dipenuhi kemunafikan, yang dijaga oleh “jin-jin” bukan jin gaib, tapi “jin” kepentingan, ketakutan, dan kenyamanan yang membuat banyak orang paham, namun memilih pura-pura tidak tahu bahwa pondasi negara ini retak.
Di sini, masalah kita bukan hanya salah desain, tapi juga cara masyarakat dan elit merasionalisasi kesalahan itu.
Dulu kita mengenal filosofi: sandang, pangan, papan yang mencerminkan bahwa hidup bukan sekadar perut kenyang (pangan), tetapi juga martabat dan kelayakan (sandang), serta tempat hidup yang layak (papan).
Namun dalam praktik bernegara hari ini, urutannya seperti dibalik menjadi:
pangan, sandang, papan
Yang paling penting dulu adalah uang: gaji aman, proyek jalan, fasilitas tetap mengalir. Soal pakaian moral dan konstitusional, nanti dulu.
Kasarnya:
“Nggak apa-apa telanjang secara tata kelola, yang penting tidak kelaparan secara finansial.”
Akademisi diam karena butuh “pangan”.
Birokrat kompromi karena takut kehilangan “pangan”.
Politisi membela desain cacat karena “pangan” mereka justru lahir dari sistem yang buruk.
Negara rela mempertahankan struktur kekuasaan yang jelas-jelas bertentangan dengan governance modern, sejauh aliran anggaran, jabatan, dan kenyamanan tetap aman.
Pangan dijadikan alasan untuk membiarkan sandang kenegaraan robek-robek.
Karena itu, perdebatan kita tidak boleh berhenti di:
“Siapa presidennya?”
Pertanyaan yang lebih jujur dan penting adalah:
“Apakah sistem presidensial yang menyatukan Organ No.1 (mandat tertinggi) dan Organ No.2 (pelaksana harian) ini selaras dengan prinsip governance modern yang kita ajarkan di kelas-kelas manajemen dan hukum tata negara?”
Kalau kita pakai standar yang sama dengan yang diajarkan ke mahasiswa, jawabannya jelas: tidak.
Selama kita mempertahankan desain yang jelas-jelas bertentangan dengan governance modern, kita akan terus mengulang pola yang sama:
Dan bangsa sebesar Indonesia, dengan sejarah, sumber daya, dan martabat yang kita klaim, tidak pantas dikelola dengan standar tata kelola yang bahkan tidak akan kita terima kalau itu diterapkan di perusahaan kecil milik kita sendiri.
Di situlah inti kritik ini berdiri:
bukan hanya presidennya yang harus dikritik, tetapi sistem presidensialnya—karena sejak awal, ia sudah berjalan melawan logika governance modern.