Berita

Ilmu Siluman Fiskus (Bagian1): Ketika Pajak Tak Lagi Soal Keadilan, Tapi Kekuasaan
Berita Terbaru

Ilmu Siluman Fiskus (Bagian1): Ketika Pajak Tak Lagi Soal Keadilan, Tapi Kekuasaan

Oleh: Rinto Setiyawan, A. Md.T, CTP

Yus adalah pengusaha asal Malang. Dia tergolong warga negara yang taat membayar pajak. Yus menjalankan usahanya, mencatat semua transaksi, dan berusaha patuh pada setiap aturan yang dikeluarkan pemerintah (Direktorat Jenderal Pajak/DJP) demi tercipta keadilan.

Tapi suatu hari, Yus menerima surat ketetapan pajak (SKP) yang menetapkan utang pajak ratusan juta rupiah. Yus kaget, karena Yus merasa yakin telah memenuhi kewajiban. Namun saat Yus meminta klarifikasi, justru yang dia hadapi adalah tembok besar bernama sistem perpajakan Indonesia.

Sistem ini bukan sekadar rumit. Ia nyaris tak terlihat, tapi sangat terasa. Inilah yang disebut banyak wajib pajak sebagai "ilmu siluman fiskus."

Tembok Tak Kasat Mata Bernama Regulasi

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) beroperasi bak pasukan elite dengan ribuan senjata tersembunyi. Mereka dibekali 6.141 aturan mulai Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri Keuangan, Keputusan Menteri Keuangan, Peraturan Dirjek Pajak, Surat Keputusan Dirjen Pajak, dll. Belum lagi kalau masih kalau menghadapi Wajib Pajak yang berjuang keras, mereka masih dibekali Surat Edaran Dirjek Pajak dan Nota Dinas Dirjen Pajak, yang walupun itu bersifat internal namun dikondidikan mengikat wajib pajak juga.

Totalnya ada ratusan ribuan pasal yang membentuk labirin hukum yang bahkan tidak semua pegawai DJP kuasai. Namun ketika melakukan pemeriksaan pajak, regulasi itu digunakan seperti pedang bermata satu, menyerang wajib pajak, tapi tak memberi ruang pembelaan yang setara.

“Ini aturannya, harus dipatuhi,” demikian biasanya petugas pajak menyampaikan.

Tapi saat diminta menjelaskan pasal mana yang digunakan,  jawaban oknum petugas  seringkali tidak jelas. Yang dirasakan oleh wajib pajak justru tekanan halus, atau bahkan terang-terangan: “ selesaikan saja dengan baik-baik.”

Pemerasan Struktural yang Terselubung

Setelah proses pemeriksaan selesai, dan Surat Ketetapan Pajak (SKP) keluar, oknum petugas DJP seakan melepas tanggung jawab. Mereka menyerahkan urusan ke Kantor Wilayah (Kanwil) DJP maupun Kantor pusat Direktorat Jenderal Pajak. Urusan ini antara lain proses permohonan pembatalan SKP, pembetulan SKP, Gugatan Pajak, Banding Pajak. Namun, di sinilah justru permainan berlanjut. Oknum Tim Kantor Wilayah DJP seringkali tidak melakukan peninjauan secara objektif. Mereka hanya memperkuat  hasil pemeriksaan sebelumnya, meskipun jelas cacat prosedural atau melanggar hukum.

Permohonan pembetulan dan pembatalan SKP dari wajib pajak sering kali ditolak tanpa argumen hukum memadai. Wajib pajak dianggap hanya mencari celah. Bahkan di persidangan Pengadilan Pajak, sering terjadi tim DJP akan menolak dihadirkannya petugas pemeriksa sebagai saksi, seolah ingin menutup semua ruang kejelasan. Hakim pun sering kali membiarkan ini terjadi.

Pengadilan yang Tak Lagi Netral

Ironisnya, Pengadilan Pajak yang seharusnya menjadi tempat mencari keadilan, justru kadangkala -atau bahkan seringkali-menjadi bagian dari permasalahan. Hakim-hakimnya bukan berada di bawah Mahkamah Agung, melainkan berada dalam struktur Kementerian Keuangan, lembaga yang sama dengan yang menaungi DJP. Maka, banyak wajib pajak yang merasakan bahwa proses persidangan lebih menyerupai ritual formalitas legalitas, bukan mekanisme pengujian kebenaran untuk mewujudkan keadilan.

Bahkan ketika wajib pajak mengajukan argumen kuat, seperti keputusan DJP yang terbit melebihi batas waktu yang diatur Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, hakim bisa saja mengabaikan sepenuhnya tanpa memberikan pertimbangan hukum dengan mendorongnya agar melakukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.

“Silakan ajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung.”

PK seakan menjadi selimut untuk setiap kelemahan sistem. Padahal MA tidak akan mengoreksi fakta, hanya akan melihat dokumen. Bagi wajib pajak kecil, PK hanya formalitas mahal yang tak terjangkau. Keadilan pun menjauh.

Otoritarianisme Fiskal yang Tak Terlihat

Sistem pajak Indonesia saat ini memperlihatkan gejala otoritarianisme fiskal, Kekuasaan regulasi ada di tangan DJP dan Menkeu (bahkan UU KUP menyebut 48 kali bahwa hal teknis diatur lewat Peraturan Menteri Keuangan),Pelaksanaan dan pemungutan pajak dilakukan DJP, Pengadilannya pun di bawah struktur yang sama. Dengan struktur seperti ini, tidak ada pemisahan kekuasaan. Tidak ada mekanisme pengawasan independen. Menteri Keuangan dan DJP menjadi pembuat aturan, penafsir aturan, dan pelaksana sanksi atas aturan tersebut secara sepihak.

Dalam negara hukum yang demokratis, ini adalah penyimpangan serius. Bahkan bisa disebut sebagai bentuk peradilan semu (pseudo-justice), karena kekuasaan pajak tidak tunduk pada prinsip checks and balances.

Melanggar Semangat Pancasila

Pasal 23A UUD 1945 memang menyatakan bahwa pajak bersifat memaksa. Namun kekuasaan yang memaksa harus tunduk pada keadilan. Tanpa keadilan, paksaan adalah penindasan.

Sistem yang saat ini berjalan telah jauh dari semangat sila kelima Pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam praktiknya, sistem pajak tidak lagi mendidik warga untuk patuh secara sukarela, tetapi membentuk atmosfer ketakutan, ketidakpastian, dan hilangnya martabat warga negara.

Keadilan tak boleh hanya milik mereka yang punya akses ke konsultan pajak besar dan firma hukum. Keadilan pajak adalah hak semua warga, termasuk UMKM dan wajib pajak kecil.

Kita Tidak Menolak Pajak. Kita Menolak Ketidakadilan

Pajak adalah instrumen pembangunan. Tapi jangan biarkan ia menjadi alat penindasan. Wajib pajak tak takut membayar. Yang ditakuti adalah ketika hukum dijalankan dengan mata tertutup dan telinga tersumbat, hanya karena kekuasaan telah menjadi tuan atas keadilan.

Inilah saatnya mereformasi total sistem perpajakan Indonesia dengan beberapa langkah sebagai berikut:

  1. Letakkan pengadilan pajak di bawah Mahkamah Agung secepatnya tidak menunggu tanggal 31 Desember 2026.
  2. Batasi delegasi Peraturan Menteri Keuangan dan Peraturan Dirjen Pajak yang melampaui UU, dengan mengamandemen Undang-undang Ketentuan Umum Perpapajakan (KUP).
  3. Buka ruang partisipasi wajib pajak dalam penataan regulasi.
  4. Dan hadirkan pengawasan eksternal yang benar-benar independen.

Karena keadilan bukan hadiah. Ia harus diperjuangkan, terutama saat negara menyembunyikannya di balik ribuan pasal dan regulasi teknokratik.