Berita

Krisis Keadilan di Indonesia: Dampak Cacat Desain Ketatanegaraan
Berita Terbaru

Krisis Keadilan di Indonesia: Dampak Cacat Desain Ketatanegaraan

Oleh: Rinto Setiyawan , A.Md., S.H., CTP
Ketua Umum IWPI, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute

 Indonesia tengah memasuki fase darurat yang jarang disebutkan secara terbuka, tetapi dirasakan oleh rakyat dalam bentuk paling nyata darurat keadilan. Putusan hukum yang berubah-ubah, praktik mafia peradilan, ketidakpastian hukum bagi rakyat kecil, hingga kesan hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas semua itu bukan sekadar masalah moral atau integritas personal hakim.

Akar persoalannya jauh lebih dalam:
desain ketatanegaraan Indonesia salah sejak awal.

Dan salah satu contoh paling fatal dari kesalahan desain itu adalah:

Ketua Mahkamah Agung ditetapkan oleh Presiden, yang secara struktural adalah kepala pemerintahan (eksekutif).

Dengan kata lain, eksekutif mengangkat kepala lembaga yudikatif sebuah praktik yang bertentangan dengan prinsip dasar separation of power dan keadilan dalam negara modern.

1. Ketika Eksekutif Menetapkan Kepala Yudikatif: Hancurnya Garis Pemisah Kekuasaan

Dalam teori negara mana pun mulai dari Montesquieu, Hans Kelsen, hingga modern constitutionalism kemandirian kekuasaan kehakiman adalah syarat mutlak tegaknya keadilan.

Namun dalam sistem saat ini:

  • Presiden sebagai kepala eksekutif memiliki peran final dalam penetapan Ketua MA
  • Proses seleksi hanya prosedural, bukan substantif
  • Rakyat sebagai pemilik kedaulatan kehilangan kontrol total

Secara filosofis dan manajerial, ini ibarat manajer proyek menunjuk kepala auditor yang harus memeriksa dirinya sendiri.
Tidak ada perusahaan besar yang waras akan melakukan itu tetapi republik ini selama puluhan tahun menerapkannya sebagai mekanisme konstitusional resmi.

Hasilnya bisa ditebak:

  • Yudikatif tidak pernah benar-benar merdeka
  • Mafia peradilan tumbuh subur
  • Judicial corruption tidak pernah selesai
  • Keputusan hakim sering beraroma kepentingan politik

Bukan karena hakimnya buruk, tetapi karena sistem memungkinkan bahkan mendorong patologi kekuasaan itu terjadi.

2. Rakyat Tidak Mendapat Keadilan Karena Tidak Memegang Kedaulatan Yudisial

Dalam negara demokrasi sejati:

keadilan adalah hak rakyat, bukan hadiah dari penguasa.

Namun dalam sistem sekarang:

  • Presiden → kepala pemerintahan
  • Presiden pula → penentu Ketua MA
  • Ketua MA → puncak kekuasaan yudisial

Lalu rakyat ada di mana?
Rakyat kehilangan kontrol terhadap lembaga yang seharusnya paling melindungi hak-hak mereka.

Tidak heran rakyat kehilangan:

  • kepercayaan pada pengadilan
  • harapan terhadap keadilan hukum
  • rasa aman terhadap perlakuan negara

Karena hukum menjadi instrumen kekuasaan, bukan instrumen keadilan.

3. Ini Bukan Sekadar Salah Prosedur — Ini Salah Desain Ketatanegaraan

Kesalahan penempatan kewenangan ini adalah bukti bahwa:

Konstitusi kita salah dalam mendefinisikan hubungan antar kekuasaan negara.

Kita punya:

  • Presiden terlalu kuat (super–presidensialisme)
  • DPR terlalu lemah (parlementer hanya di nama)
  • MPR kehilangan fungsi sebagai pengendali rakyat
  • MA dan MK tidak sepenuhnya mandiri

Desain seperti ini menghasilkan negara yang:

- kuat terhadap rakyat
- tetapi lemah terhadap oligarki
- sigap terhadap kritik publik
- tetapi lambat terhadap kejahatan korupsi

Keadilan menjadi barang mahal karena sistem membuatnya sulit dijangkau oleh rakyat kecil.

4. Negara Perlu Amandemen Ketatanegaraan yang Total, Bukan Tambalan

Sekolah Negarawan melalui rancangan Amandemen Kelima UUD 1945 menawarkan jalan keluar yang logis, ilmiah, dan filosofis:

  • Ketua Mahkamah Agung tidak diangkat oleh Presiden
  • Ketua MA dipilih oleh hakim agung sendiri
  • Penetapan dilakukan oleh MPR sebagai Kepala Negara (representasi rakyat), bukan eksekutif

Dengan begitu:

  • Eksekutif tidak lagi memiliki kendali terselubung
  • Yudikatif benar-benar merdeka
  • Rakyat menjadi pusat kedaulatan konstitusional

Inilah prinsip dasar yang dipahami semua sistem negara modern:

Yang diawasi tidak boleh mengangkat pengawasnya.
Yang diperiksa tidak boleh menunjuk pemeriksanya.

Dan yang diperintah tidak boleh lebih berkuasa dari yang memerintah.

Sayangnya, Indonesia melakukan ketiganya.

5. Jika Keadilan Rusak, Negara Tidak Lagi Punya Fondasi

Sebagaimana dikatakan oleh Cak Nun:

“Negara bisa berdiri tanpa presiden, tanpa menteri. Tapi negara akan runtuh jika tidak ada keadilan.”

Keadilanlah yang membuat rakyat tunduk kepada hukum.
Keadilanlah yang membuat negara dihormati.
Dan keadilanlah yang membuat bangsa bertahan.

Dan hari ini, keadilan sedang di ambang krisis karena salah desain kekuasaan.

Saatnya Mengembalikan Kedaulatan Yudisial ke Tangan Rakyat

Indonesia darurat keadilan bukan karena rakyatnya tidak bermoral, melainkan karena desain negaranya tidak sehat.

Ketika Presiden memiliki kuasa final dalam menentukan Ketua Mahkamah Agung, itu bukan demokrasi itu struktural injustice.

Bangsa ini membutuhkan:

  • perombakan total sistem ketatanegaraan
  • pemulihan kedaulatan rakyat
  • amandemen UUD 1945 yang mengembalikan keseimbangan kekuasaan
  • yudikatif yang mandiri, bersih, dan benar-benar melayani rakyat

Sampai ini dilakukan, keadilan hanya akan menjadi mimpi dan negara hanya akan menjadi mesin kekuasaan yang memelihara ketidakadilan.

Indonesia darurat keadilan. Dan darurat ini hanya bisa diakhiri dengan membedah ulang konstitusi.