Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute
beritax.id - Belakangan ini, muncul fenomena unik namun penuh makna dengan sejumlah warga mengibarkan bendera bajak laut One Piece di berbagai wilayah Indonesia. Bagi sebagian orang, ini mungkin hanya sebatas ekspresi budaya pop. Namun jika dicermati lebih dalam, bendera dengan lambang tengkorak tersebut telah menjelma menjadi simbol perlawanan rakyat terhadap sesuatu yang jauh lebih besar: ketidakadilan sistemik dan kehilangan arah moral penguasa.
Di tengah derasnya kekecewaan terhadap pemerintahan yang dinilai semakin menjauh dari nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan empati sosial, simbol bajak laut, yang dalam dunia fiksi dikenal sebagai petarung bagi kebebasan dan kebenaran di tengah dunia yang dikuasai korupsi dan tirani, mendadak terasa relevan. Rakyat merasa tidak lagi memiliki institusi yang berpihak, tidak memiliki pemimpin yang melindungi, dan tidak memiliki negara yang jujur dalam bernegara.
Fenomena ini bukan sekadar hiburan. Ia adalah seruan diam bahwa negara telah kehilangan legitimasi moralnya. Simbol negara kini dikaburkan oleh lambang-lambang fiksi, karena simbol nyata tak lagi mencerminkan harapan.
Pemerintah Berwatak Sengkuni
Emha Ainun Nadjib, atau yang akrab disapa Cak Nun, dalam berbagai forum Maiyah, berkali-kali mengingatkan bahwa banyak watak penyelenggara negara kini menyerupai Sengkuni, tokoh licik dalam epos Mahabharata yang piawai memanipulasi, membungkus tipu daya dengan narasi suci, dan menghalalkan segala cara demi kepentingan kekuasaan.
“Pemerintah itu tidak sedang menjadi Pandawa yang membela rakyat, tapi Sengkuni yang memanipulasi rakyat agar tak sadar sedang dijajah bangsanya sendiri,” tegas Cak Nun dalam salah satu kajian Sinau Bareng.
Watak seperti ini membentuk pemerintahan yang memperalat hukum, membungkam kritik dengan dalih stabilitas, dan mempermainkan kepercayaan rakyat. Dengan lewat retorika kosong dan bantuan yang sebenarnya bersumber dari keringat rakyat sendiri.
Maka, ketika rakyat mulai mengganti sang saka merah putih dengan bendera bajak laut, itu bukan sekadar pemberontakan estetika. Itu adalah teriakan batin yang selama ini dibungkam. Sinyal bahwa negara tak lagi dilihat sebagai pelindung, melainkan sebagai kekuatan predator yang menyaru dalam jubah legalitas.
Makar Moral dari Atas, Perlawanan Moral dari Bawah
Ketika pejabat kekuasaan melakukan pembusukan nilai-nilai etika, mengorbankan kebenaran demi citra, dan mengkhianati janji konstitusional untuk melayani rakyat. Maka yang terjadi adalah makar moral, penghianatan terhadap amanah tertinggi dalam sebuah republik: kedaulatan rakyat.
Bendera One Piece bukan makar politik. Ia adalah respon rakyat terhadap makar moral itu sendiri. Ketika simbol resmi negara dikosongkan dari nilai. Rakyat mengisinya kembali dengan simbol yang mewakili perasaan mereka mengenai perjuangan, kejujuran, dan harapan akan dunia yang lebih adil, meskipun dalam bentuk fiksi.
Penutup: Simbol yang Tak Bisa Diabaikan
Apa yang dilakukan rakyat dengan mengibarkan bendera bajak laut bukan sekadar aksi iseng. Ini adalah cermin paling jujur dari rasa kehilangan terhadap negara dan pemimpinnya. Negara bisa saja memaksakan hormat pada simbol, tapi ia tak bisa memaksa kepercayaan. Karena simbol hanya berarti ketika nilai di baliknya masih dihidupi.
Selama penguasa terus berwatak Sengkuni, dan hukum hanya menjadi topeng bagi kekuasaan. Rakyat akan terus mencari simbol baru untuk menggambarkan nuraninya, termasuk lewat bendera bajak laut.