Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) Basuki Hadimuljono menyatakan penolakan tambahan anggaran Rp14,92 triliun berpotensi menghambat pembangunan IKN tahap kedua. Anggaran yang ditolak Badan Anggaran DPR tersebut seharusnya digunakan untuk mendukung pembangunan kawasan legislatif, yudikatif, serta infrastruktur penunjang.
Basuki menegaskan keterlambatan pembangunan akan berdampak pada target IKN sebagai ibu kota 2028. Saat ini, alokasi anggaran 2026 hanya Rp6,26 triliun, jauh dari kebutuhan usulan sebesar Rp48,8 triliun untuk tiga tahun ke depan.
Anggota Majelis Tinggi Partai X sekaligus Direktur X Institute, Prayogi R Saputra, menilai polemik anggaran IKN hanya memperlihatkan prioritas yang keliru. “Tugas negara itu tiga loh, melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Tapi justru rakyat ditinggalkan, sementara IKN dipaksakan,” tegasnya.
Partai X menilai pembangunan IKN menghabiskan triliunan rupiah, namun rakyat masih menghadapi kemiskinan, pengangguran, dan harga kebutuhan pokok yang melambung. Ketika negara sibuk memperdebatkan gedung parlemen baru, banyak rakyat masih kekurangan pangan, pendidikan, dan layanan kesehatan.
Partai X menegaskan bahwa negara bukan milik pejabat, melainkan milik seluruh rakyat. IKN tidak boleh menjadi monumen kekuasaan yang mewah, sementara desa-desa terpinggirkan. Prinsip dasar Partai X menolak segala bentuk pengabaian rakyat demi proyek mercusuar.
Negara seharusnya hadir melalui kebijakan yang menyejahterakan. Pembangunan harus berlandaskan kepakaran, akuntabilitas, dan musyawarah, bukan hanya keinginan pejabat. Transparansi dalam alokasi anggaran menjadi kunci agar rakyat tahu ke mana uang mereka digunakan.
Partai X menawarkan solusi konkret agar pembangunan tidak menjauhkan negara dari rakyat:
Partai X menekankan pembangunan IKN seharusnya tidak membuat rakyat semakin menderita. Anggaran besar untuk gedung megah seharusnya diprioritaskan bagi kebutuhan mendesak rakyat. “IKN baru tidak boleh membuat rakyat terlantar. Negara harus hadir untuk kesejahteraan, bukan sekadar simbol kekuasaan,” pungkas Prayogi.