Pernahkah kamu merasa bahwa sekuat apa pun kita bekerja, ujung-ujungnya uang tetap mengalir ke segelintir orang yang sama? Bahwa di mana pun kita belanja, isi pulsa, bayar tol, ambil pinjaman, atau bahkan membayar pajak selalu saja ada nama-nama besar yang menikmati hasil akhirnya.
Banyak yang bilang bahwa itu karena Oligarki. Seolah-olah oligarki adalah monster yang muncul begitu saja tanpa campur tangan mereka yang memerintah. Padahal, oligarki bukan penyakit, melainkan produk dari kegagalan sistem pemerintahan kita sendiri.
Lebih parah lagi: kegagalan itu disengaja dan dipelihara.
Sebab selama rakyat sibuk menyalahkan oligarki, para pejabat bisa bersembunyi di baliknya, menutupi fakta bahwa mereka sendiri yang membuka jalan bagi oligarki untuk tumbuh dan berkuasa.
Negara yang Tak Lagi Dikelola dengan Baik
Masalah utamanya bermula dari buruknya manajemen negara. Setelah amandemen keempat UUD 1945, struktur kenegaraan Indonesia berubah total. Dulu, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berperan seperti dewan direksi dalam perusahaan besar yang mengawasi Presiden yang diibaratkan sebagai CEO, agar tidak sewenang-wenang. Rakyat diibaratkan sebagai “pemegang saham” negara.
Namun setelah amandemen keempat, rakyat tidak lagi menjadi pemegang saham langsung.
MPR kehilangan fungsinya sebagai Board of Directors. Presiden tetap menjadi “CEO”, tetapi kini tanpa pengawasan efektif. Hasilnya: manajemen negara berjalan seperti korporasi tanpa dewan pengawas. Sistem menjadi tumpul, arah pembangunan tidak jelas, dan kekuasaan ekonomi mudah dikuasai oleh kelompok yang punya modal besar.
Ketika negara gagal berperan sebagai pengelola yang efektif, korporasi yang sebenarnya justru mengambil alih.
Oligarki yang Disuburkan oleh Kekuasaan
Jangan salah: oligarki tidak muncul untuk melawan pemerintah. Mereka justru lahir dari persekutuan dengan kekuasaan itu sendiri.
Mereka membiayai kampanye para pejabat, menyusun undang-undang, bahkan menempatkan orang-orangnya di parlemen dan kabinet. Sebagai imbalannya, pemerintah memberi konsesi tambang, proyek infrastruktur, monopoli impor, dan berbagai kemudahan fiscal bagi oligarki.
Itu sebabnya, tak ada pemerintahan di era modern yang benar-benar memerangi oligarki.
Semua hanya memainkan sandiwara populis: menuding oligarki di depan publik, sambil berbisnis dengan mereka di belakang layar.
Oligarki bukan ancaman bagi kekuasaan, justru mereka adalah mitra yang membuat kekuasaan bertahan.
Negara yang Mengabdi pada Modal
Dalam kondisi ini, rakyat tidak lagi menjadi pusat kebijakan. Pajak dinaikkan, subsidi dikurangi, tapi keuntungan perusahaan besar tetap dijaga. Aset negara yang seharusnya dikelola untuk kesejahteraan publik malah dijadikan “portofolio” di bawah Kementerian Keuangan yang bernilai triliunan rupiah, tapi tak terasa manfaatnya bagi rakyat kecil.
Negara yang seharusnya menjadi pelayan rakyat kini berubah menjadi manajer bagi kepentingan modal. Kemenkeu mengelola aset, bukan kesejahteraan. BUMN berorientasi pada laba, bukan pelayanan publik, justru sekarang malah menjadi merugi. Dan pemerintah sibuk mengejar investasi asing, sementara warganya menjadi buruh di tanah sendiri.
Ketimpangan yang Dibiarkan Hidup
Menurut data terbaru, 10% orang terkaya menguasai 73% kekayaan nasional, sementara 1% teratas menggenggam lebih dari setengah total kekayaan Indonesia. Rakyat dan pemerintah berebut sisa 27% yang masih tersisa.
Ironisnya, negara sering bersembunyi di balik retorika “kesejahteraan sosial”, padahal mereka tahu sistem ekonomi yang mereka rawat hanya memperkaya 1% elit. Ketimpangan bukan kecelakaan melainkan ia adalah hasil desain pemerintahan.
Kambing Hitam yang Melindungi Kekuasaan
Selama ini oligarki dituding sebagai biang keladi dari segala ketimpangan. Padahal, oligarki justru berfungsi sebagai kambing hitam yang sempurna: Rakyat memarahi mereka, bukan pemerintah; media sibuk membahas konglomerat, bukan sistem; sementara penguasa tetap aman di kursi mereka, berlindung di balik dalih “kami juga korban oligarki.”
Padahal kebenarannya sederhana: tanpa izin, perlindungan, dan persekongkolan kekuasaan, oligarki takkan pernah bisa hidup. Begitupun sebaliknya. Pada akhirnya tercipta lingkaran setan.
Rakyat Harus Kembali Berdaulat
Oligarki kuat karena negara gagal, dan negara gagal karena rakyat kehilangan kendali.
Sudah waktunya rakyat kembali menjadi pemegang saham sejati Republik ini, bukan hanya nama di pembukaan UUD 1945.
Melalui Musyawarah Kenegarawanan Nasional, empat pilar bangsa kaum intelektual, tokoh agama, TNI/Polri, dan kaum budaya harus berkumpul untuk merumuskan kembali arah besar Indonesia, salah satunya dengan melakukan amandemen kelima UUD 1945.
Amandemen ini akan menghidupkan kembali mekanisme pengawasan yang kuat, mempertegas pemisahan antara negara dan pemerintah, dan membangun sistem yang memungkinkan rakyat menjadi pengendali arah negara seperti pemegang saham dalam perusahaan publik.
Dengan begitu, ketika pemerintah gagal atau jatuh, negara tetap berdiri. Karena negara bukan rezim, dan rezim bukan negara.
Selama negara dikelola tanpa akuntabilitas, tanpa sistem manajemen yang sehat, dan tanpa pengawasan rakyat, oligarki akan terus beranak-pinak dan kita akan terus membayar harga mahal untuk setiap kegagalan mereka.
Karena sesungguhnya, oligarki bukan ancaman terbesar bangsa ini. Ancaman terbesarnya adalah pemerintah yang berpura-pura melawan oligarki, padahal diam-diam menjadi bagian darinya.