Berita

Tanpa Kedaulatan Rakyat, Apa Artinya Kemerdekaan?
Berita Terbaru

Tanpa Kedaulatan Rakyat, Apa Artinya Kemerdekaan?

Kemerdekaan tuh nggak cuma soal nggak dijajah fisik aja. Lebih dari itu, ini soal kedaulatan kita sebagai rakyat, hak buat nentuin masa depan sendiri. 17 Agustus 1945 itu momen kita bilang, “Yo, kita bisa atur rumah tangga sendiri.” Tapi serius deh, kalau kedaulatan malah dikatrol ke segelintir pejabat atau campur tangan asing, apa artinya kemerdekaan?

Kalau merdeka tapi nggak punya kedaulatan, ya cuma pajangan doang. Bisa punya bendera, lagu kebangsaan, dan lambang keren, tapi kalau rakyat cuma jadi penonton, ya sama aja bohong. Kedaulatan itu roh kemerdekaan, hak kita buat pilih pemimpin, bikin kebijakan, dan tentuin arah pembangunan.

Pertanyaannya simpel kalau kedaulatan hilang, buat apa kita ngerayain 17 Agustus? Perjuangan para pahlawan nggak buat ditukar sama “penjajahan baru” lewat pejabat atau kepentingan orang lain. Jadi, jaga kedaulatan itu tugas bareng, di mana negara harus berpihak ke rakyat, dan rakyat harus sadar: merdeka cuma bermakna kalau kedaulatan masih di tangan kita.

Negara Dikuasai Pejabat, Rakyat Dipaksa Taat

Seharusnya negara ini dibangun buat rakyat, sama rakyat, dan demi rakyat. Tapi realitanya gimana? Kayak negara direbut sama pejabat, terus dijadiin milik pribadi. Mereka duduk manis di kursi empuk, bikin aturan jauh dari realita rakyat, terus maksa kita patuh.

Lihat aja undang-undang lahir tanpa suara rakyat, kebijakan diambil di ruang AC, jauh dari orang yang antre minyak, rebut sembako, atau cicil biaya sekolah. Kalau rakyat protes? Gas air mata, pentungan, kriminalisasi. Rakyat dianggap “ribut,” tapi pejabat yang salah tetap aman.

Ini bukan demokrasi, ini negara pejabat. Rakyat cuma objek bayar pajak, patuh, nunggu janji, tapi hasilnya nol. Prinsip Partai X jelas: negara bukan milik pejabat, tapi milik rakyat. Pemerintah itu pelayan, bukan bos. Tanpa kedaulatan di tangan rakyat, kemerdekaan cuma ilusi.

Kedaulatan Disulap Jadi Kekuasaan

Dulu, kedaulatan ada di tangan rakyat. Janji Proklamasi, semangat UUD 1945. Sekarang? Banyak pejabat nyulap kedaulatan jadi legitimasi mereka. “Atas nama rakyat,” katanya. Tapi kenyataannya? Rakyat jarang dilibatkan. Undang-undang lahir dari lobi gelap, kebijakan ditentukan oligarki, rakyat cuma dipakai pas pemilu, terus dilupain.

DPR naikkin tunjangan sendiri, rakyat masih utang buat beras. Aparat bikin demo rakyat berasa serem, padahal yang dijaga cuma kenyamanan pejabat. Kedaulatan rakyat dipreteli, diperkecil, dijadiin tameng kekuasaan. Kedaulatan harus balik ke rakyat, bukan cuma slogan 17 Agustus. Kalau nggak, generasi depan cuma merdeka di kertas, tapi tetep terjajah di praktik.

Kursi Kekuasaan Jadi Takhta, Bukan Amanah

Kekuasaan itu amanah. Tapi sekarang kursi pejabat kayak takhta kerajaan. Mereka bukan pelayan, tapi penguasa yang merasa berhak ngatur hidup kita. Dari kursi itu lahir aturan yang nindas rakyat, kebijakan buat kelompok tertentu, keputusan yang jauh dari cita-cita kemerdekaan.

Kalau pejabat sibuk jaga kursi daripada janji ke rakyat, demokrasi cuma sandiwara. Kekuasaan jadi alat buat kaya sendiri, bukan tegakkan keadilan. Partai X bilang: pemerintah itu pekerja rakyat, digaji buat melayani, bukan nindas. Negara bukan milik rezim, negara milik rakyat.

Solusi Partai X

Partai X menegaskan, bangsa ini tidak akan selamat jika kekuasaan hanya dijadikan alat mempertebal tunjangan. Ada langkah penyembuhan yang harus segera ditempuh:

  1. Musyawarah Kenegarawanan Nasional oleh 4 Pilar Negara yaitu Kaum Intelektual, Agama, TNI/Polri, dan Budaya, sebagai ruang persatuan visi bangsa untuk membuat desain struktur ketatanegaraan baru.
  2. Membuat Draft Amandemen Kelima UUD 1945 untuk mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat.
  3. Membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) untuk mengawal transisi dan mengesahkan Draft Amandemen Kelima UUD 1945.
  4. Pemisahan tegas antara negara dan pemerintah agar ketika pemerintah kolaps, negara masih bertahan. Negara bukan rezim, dan rezim bukan negara.
  5. Pemaknaan ulang Pancasila sebagai pedoman operasional, bukan sekadar slogan. Pancasila harus menjadi cahaya moral dan bukan komoditas kampanye.
  6. Pembubaran partai politik yang gagal mendidik rakyat, disertai pendaftaran ulang dan verifikasi ulang partai politik.
  7. Reformasi hukum berbasis kepakaran, mengurangi ruang korupsi dan memastikan keadilan berpihak pada yang benar, bukan pada suara terbanyak atau uang paling besar.
  8. Transformasi birokrasi digital untuk memutus rantai korupsi, melindungi sistem dari manipulasi manual dan melipatgandakan akuntabilitas pelayanan publik.
  9. Pendidikan moral dan politik berbasis Pancasila di sekolah, agar generasi mendatang tidak buta ideologi, tahu siapa dia, dan tahu apa tanggung jawabnya sebagai warga negara.
  10. Menggunakan media cetak, televisi, radio, media online, dan media sosial milik negara sebagai sarana utama untuk menyebarluaskan pendidikan moral dan politik berbasis Pancasila.Dengan begitu, nilai-nilai Pancasila dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat secara luas dan konsisten, memperkuat kesadaran ideologi generasi muda, serta menanamkan rasa tanggung jawab sebagai warga negara.

Dengan ini, kursi kekuasaan balik ke makna asli, kembali ke kedaulatan rakyat, dan pemerintahan dijalankan dengan efektif, efisien, dan transparan untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat.