Berita

Krisis Demokrasi: Saatnya Rekonstruksi Menyeluruh Sistem Ketatanegaraan
Berita Terbaru

Krisis Demokrasi: Saatnya Rekonstruksi Menyeluruh Sistem Ketatanegaraan

Oleh: Rinto Setiyawan , A.Md., S.H., CTP
Ketua Umum IWPI, Anggota Majelis Tinggi Partai X, Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute

 Indonesia hari ini sedang mengalami darurat yang tidak kalah serius dari krisis ekonomi atau bencana alam darurat demokrasi. Gejalanya sudah terlihat nyata kekuatan oligarki semakin menguat, partai politik semakin jauh dari rakyat, institusi negara justru menjadi alat kekuasaan, bukan alat pelayanan. Jika kerusakan ini dibiarkan berlarut, bangsa ini hanya akan melahirkan republik prosedural tanpa ruh, demokrasi kosmetik tanpa kedaulatan rakyat.

Model demokrasi yang kita jalankan pasca-reformasi ternyata cacat struktural. Sistem politik yang ada hanya menciptakan siklus elitis: rakyat memilih, pejabat  menguasai, oligarki mengendalikan. Rakyat hanya menjadi objek sekadar legitimasi bagi kekuasaan, namun tidak pernah benar-benar menjadi pemilik negara.

Padahal, sebagaimana diperingatkan Mohammad Hatta, demokrasi harus menjadi jalan untuk memajukan kesejahteraan rakyat, bukan merawat kekuasaan pejabat.

“Negara tidak boleh menjadi alat kekuasaan golongan, ia harus menjadi alat kesejahteraan seluruh rakyat.”

Kenyataannya kini terbalik negara menjadi instrumen para penguasa, sementara rakyat dipaksa tunduk kepada kebijakan yang tidak pernah mereka rumuskan, apalagi mereka kendalikan.

Sistem Politik yang Rusak: Dari Kekuasaan Uang hingga Kekacauan Birokrasi

Kerusakan demokrasi hari ini bersifat sistemik bukan sekadar moral individu. Penyakit utamanya ada pada desain sistem politik:

1. Politik uang merajalela

Pemilu berubah menjadi pasar bebas kekuasaan. Uang menjadi bahasa utama politik, sementara gagasan dan integritas terlempar jauh ke pinggir.

2. Partai politik gagal menjalankan fungsi pendidikan politik

Partai kini hanya mesin elektoral, bukan rumah kaderisasi. Tidak heran yang lahir bukan negarawan, melainkan politisi transaksional.

3. Presiden menjadi figur nyaris absolut

Konsentrasi kekuasaan pada presiden tidak sejalan dengan prinsip demokrasi. Presiden kini mengatur segalanya mulai dari birokrasi, anggaran, hingga lembaga independen.

4. Rakyat dipaksa menjadi penonton

Keterlibatan rakyat hanya pada hari pemungutan suara. Setelah itu, seluruh proses politik dikendalikan elite.

Kita sedang melihat demokrasi yang kehilangan jantungnya: kedaulatan rakyat.

Darurat Demokrasi Tidak Bisa Disembuhkan Parsial

Kerusakan sistemik tidak bisa diperbaiki dengan tambalan kecil berupa revisi undang-undang. Penyakit ini butuh operasi besar. Diperlukan:

Bedah total konstitusi.

Rancangan konstitusi baru harus mengembalikan rakyat sebagai pemilik negara, bukan hanya pemberi mandat.

Inilah yang ditawarkan oleh Sekolah Negarawan, melalui penyusunan Rancangan Amandemen Kelima UUD 1945 sebuah dokumen konstitusional yang merombak total cara negara bekerja, dengan fokus pada:

✔ MPR sebagai pusat kedaulatan rakyat
✔ Presiden sebagai Kepala Pemerintahan, bukan penguasa tunggal
✔ Negara sebagai pelayan rakyat, bukan sebaliknya
✔ Mekanisme kontrol kekuasaan yang kuat dan transparan
✔ Demokrasi berbasis moral, budaya, dan spiritualitas Nusantara

Gagasan ini juga sejalan dengan kritik keras Cak Nun, yang menegaskan bahwa:

“Rakyatlah yang berhak memanggil presiden. Karena presiden itu buruh lima tahun, outsourcing. Yang digaji itu melayani yang menggaji.”

Jika presiden adalah pekerja rakyat, maka konstitusi harus kembali menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan mutlak, bukan sekadar pemilih lima tahun sekali.

Bedah Konstitusi: Dari Demokrasi Kosmetik ke Demokrasi Rakyat

Bedah total konstitusi bukan revolusi jalanan. Ini adalah revolusi pemikiran untuk menyelamatkan republik. Beberapa pilar pentingnya adalah:

1. Mengurai kekuasaan yang terlalu terpusat

Kekuasaan harus didistribusikan kembali ke MPR sebagai representasi filosofis bangsa.

2. Menegakkan mekanisme pengawasan yang menutup celah oligarki

Presiden harus bertanggung jawab kepada rakyat melalui MPR, bukan hanya melalui partai atau koalisi politik.

3. Memulihkan negara sebagai alat kesejahteraan

Negara yang kuat bukan negara yang banyak mengatur rakyatnya, tetapi negara yang mampu melayani kebutuhan rakyat secara efisien dan adil.

4. Menanamkan moralitas publik

Demokrasi tanpa moral, kata Natsir, adalah tirani mayoritas. Negara tidak boleh kehilangan rasa malu, integritas, dan akal sehat dalam menjalankan kekuasaan.

Indonesia di Persimpangan Sejarah

Jika demokrasi Indonesia saat ini dibiarkan terus merosot, kita akan menuju bentuk negara yang hanya demokratis di permukaan tetapi otoriter di dalam. Rakyat harus diselamatkan dari jebakan oligarki dan kekuasaan yang terpusat.

Amandemen konstitusi bukan pilihan ekstrem.

Amandemen konstitusi adalah jalan pulang menuju Indonesia yang beradab.

Indonesia membutuhkan:

• demokrasi berbasis moral
• negara yang melayani rakyat
• sistem yang adil dan transparan
• konstitusi baru yang membebaskan rakyat dari kejahatan politik

Darurat demokrasi ini harus segera dijawab. Dan jawabannya adalah bedah konstitusi total.