Berita

Indonesia 2045: Antara Pertumbuhan dan Krisis Ekonomi
Berita Terbaru

Indonesia 2045: Antara Pertumbuhan dan Krisis Ekonomi

Setiap tahun rakyat disuguhi ramalan krisis global, resesi, ancaman ekonomi dunia. Pemerintah begitu rajin bicara soal bahaya yang akan datang, seakan mereka adalah peramal ulung. Tapi rakyat bukan butuh ramalan, rakyat butuh solusi nyata.

Ironisnya, ramalan ini sering dijadikan tameng untuk menutupi kegagalan. Harga beras melonjak hingga lebih dari Rp14.000 per kilogram di 2024, langsung dilempar alasan global. Rupiah melemah ke kisaran Rp15.900 per dolar AS, lagi-lagi alasan global.

Tingkat pengangguran masih di atas 7,8 juta orang menurut BPS (2023), kembali dilempar ke kondisi internasional. Padahal masalah di negeri ini jelas: korupsi yang merajalela, kebijakan yang salah arah, dan pejabat yang sibuk menyelamatkan diri sendiri ketimbang menyelamatkan rakyat.

Ramalan Jadi Tameng, Rakyat Jadi Korban

Setiap kali ekonomi goyah, alasan klasik selalu dipakai, seperti krisis global, perang di luar negeri, harga minyak dunia, hingga cuaca ekstrem. Tapi pada akhirnya, siapa yang menanggung beban? Bukan pejabat, tapi rakyat kecil.

Bukti nyatanya yaitu meski pemerintah klaim pertumbuhan ekonomi stabil di kisaran 5%, daya beli rakyat merosot. Indeks Keyakinan Konsumen Bank Indonesia pada pertengahan 2024 sempat turun ke titik 123, artinya rakyat makin pesimis. Petani rugi karena harga gabah anjlok di tingkat produksi, tapi harga beras melonjak di pasaran. Usaha mikro gulung tikar karena bunga kredit mahal.

Lebih ironis lagi, angka kemiskinan pun bisa dibuat tampak lebih rendah hanya karena standar yang dipakai diturunkan. Misalnya, kalau batas garis kemiskinan ditetapkan hanya sekitar Rp550 ribu per orang per bulan, otomatis jutaan orang yang hidup pas-pasan di atas angka itu tidak lagi dihitung miskin. Padahal secara nyata, mereka tetap kesulitan beli beras, bayar sekolah, dan berobat. Inilah cara statistik bisa dipoles agar tampak indah, padahal realita jauh lebih pahit.

Rakyat tidak butuh ramalan dan tidak butuh data indah hasil manipulasi. Mereka butuh kepastian. Mereka butuh harga sembako yang stabil, pendidikan terjangkau, kesehatan yang layak, dan pekerjaan yang jelas. Apa gunanya ramalan krisis kalau solusinya tidak pernah hadir? Apa gunanya data menurun di atas kertas kalau perut rakyat tetap lapar di lapangan?

Wacana Melangit, Perut Rakyat Tetap Lapar

Pejabat begitu pandai menata kata. Ada wacana “Indonesia Emas 2045”, ada mimpi “reformasi ekonomi besar-besaran”, ada pula janji “kesejahteraan di depan mata”. Semua terdengar megah, seolah langit sudah digenggam.

Tapi di Indonesia kenyataannya malah pahit. Rakyat masih harus antre panjang demi beras murah. Anak-anak sulit bayar uang sekolah. Orang sakit ditolak rumah sakit karena tak punya biaya. Utang negara menembus Rp8.300 triliun (Agustus 2024), dan beban bunganya ditanggung rakyat lewat pajak.

Apa gunanya bermimpi tentang 2045 kalau 2025 saja rakyat sudah kelaparan? Apa gunanya pidato soal kejayaan bangsa kalau hari ini rakyat hidup dengan utang, pajak mencekik, dan layanan publik yang amburadul?

Pemerintah Sibuk Bicara, Ekonomi Tetap Terpuruk

Setiap kali ekonomi goyah, yang paling rajin keluar bukan kebijakan, tapi pernyataan. Pemerintah sibuk pidato di forum internasional, sibuk wacana di dalam negeri, sibuk menakut-nakuti dengan ancaman global.

Padahal angka jelas menunjukkan bahwa pengangguran masih tinggi, harga pangan melonjak, daya beli merosot. BPS mencatat, tingkat kemiskinan di Maret 2024 masih 9,03% atau 25 juta orang.

Ekonomi tidak akan bangkit dengan pidato. Perut rakyat tidak akan kenyang dengan wacana. Kalau pejabat hanya pandai bicara sementara rakyat harus menanggung krisis sendiri, itu bukan kepemimpinan, itu pengkhianatan.

Solusi Nyata, Bukan Ramalan

Karena itu, Partai X menegaskan: bangsa ini butuh tindakan nyata, bukan lagi wacana kosong.

  1. Musyawarah Kenegarawanan Nasional oleh 4 Pilar yaitu intelektual, agama, TNI/Polri, dan budaya.
  2. Draft Amandemen Kelima UUD 1945 untuk mengembalikan kedaulatan rakyat.
  3. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara untuk mengawal transisi.
  4. Pemisahan tegas antara negara dan pemerintah.
  5. Pancasila dijadikan pedoman operasional, bukan slogan.
  6. Partai politik diverifikasi ulang dan yang gagal mendidik rakyat dibubarkan.
  7. Reformasi hukum berbasis kepakaran, bukan suara terbanyak.
  8. Transformasi birokrasi digital untuk potong rantai korupsi.
  9. Pendidikan moral dan politik berbasis Pancasila di sekolah.
  10. Media negara dipakai untuk pendidikan moral dan politik rakyat.

Karena bangsa ini tidak akan pernah maju kalau pemerintah hanya pandai bicara tapi gagal bekerja. Ekonomi rakyat butuh kerja nyata, bukan ramalan dan retorika.