Berita

Takut Kena Azab, Sri Sengkuniwati Lepas Jabatan Menteri Keuangan
Berita Terbaru

Takut Kena Azab, Sri Sengkuniwati Lepas Jabatan Menteri Keuangan

Di sebuah rumah megah di pusat Konoha, seorang perempuan paruh baya duduk di ruang keluarga. Malam itu, layar televisinya menayangkan potongan ceramah dari Cak Nun.

“…mungkin nanti yang mengurus keuangan Konoha akan mengundurkan diri dari jabatannya karena sudah tidak bisa utang lagi, sudah tidak bisa bayar cicilan lagi…” ujar Cak Nun dalam video pendek itu.

Sri Sengkuniwati, Menteri Keuangan Konoha, menyimak sebentar, lalu mendengus kecil.

“Aduh, ngomong apa sih ini. Kenapa tontonan nggak ada yang bagus ya…” gumamnya sambil menghela napas panjang.

Tak lama, ia mematikan televisi dan melangkah menuju kamar. Rasa letih membuat matanya cepat terpejam. Ia tidak tahu, malam itu akan menjadi titik balik dalam hidupnya.

Gerbang Pertanggungjawaban

Dalam tidurnya, Sri bermimpi. Rumahnya dipenuhi karangan bunga belasungkawa: “Turut berduka cita atas wafatnya Sri Sengkuniwati, Menteri Keuangan Konoha.” Ia melihat dirinya sendiri terbujur kaku, lalu dikuburkan.

Tak lama kemudian, sebuah gerbang raksasa bertuliskan “Alam Pertanggungjawaban” muncul dari balik kabut. Dentuman gong terdengar, dan dua malaikat. Satu berpakaian putih, satu hitam, keduanya menghampiri Sri.

“Pekerjaan di dunia adalah Menteri Keuangan Konoha, betul?” tanya malaikat putih.

Sri mengangguk, wajahnya pucat.

Kitab amal buruk dibuka. Malaikat hitam membacakan satu demi satu, mulai daro pajak yang mencekik rakyat kecil, utang yang menumpuk, profesi guru yang disepelekan, hingga konstitusi yang diabaikan. Sebuah layar besar menayangkan wajah-wajah rakyat, pedagang kecil yang diperas, hakim yang menerima amplop, dan masyarakat yang menangis karena kehilangan keadilan.

“Kenapa kamu biarkan rakyatmu diperas? Kenapa hukum dipermainkan hanya demi penguasa?” suara malaikat hitam itu bergema.

“Aku pun sudah membawa catatan amal baikmu, tapi tidak cukup untuk menutupi kejahatan-kejahatan yang kamu lakukan selama menjabat sebagai Menteri Keuangan Konoha,” timpa malaikat putih.

Sri tak mampu menjawab. Ia jatuh berlutut, ketakutan, tubuhnya gemetar. Di sekelilingnya, bayangan rakyat menuding dan berteriak, “Kamu membuat hidup kami menderita!”.

Dalam sekejap, ia ditarik ke dalam kobaran api. Lidahnya terkunci, tangannya terpotong, tubuhnya dicambuk.

Dan tepat ketika siksa itu semakin menyakitkan, Sri terbangun. Nafasnya tersengal, keringat dingin mengucur deras. Ia sadar bahwa semua itu hanya mimpi. Namun rasa takutnya tetap membekas.
Bayang-Bayang Utang

Pagi itu di kantornya, Sri kembali dihadapkan pada kenyataan. Tumpukan dokumen jatuh tempo menanti di meja kerjanya. Ia memegang kepala, wajahnya penuh cemas.

“Semua cicilan sudah jatuh tempo. Uang negara habis. Mau ngutang lagi pun tak bisa…,” bisiknya lirih.

Ingatan akan mimpi semalam berbaur dengan kenyataan. Kata-kata Cak Nun yang semalam ditontonnya kembali terngiang: “Sekarang bukan waktunya berutang. Negara sudah terlalu lelah.”

Sri tahu, Konoha telah berada di ambang krisis. Dan dirinya, sebagai bendahara utama negara, tidak lagi sanggup memikul beban itu.

Konferensi Pers yang Mengguncang

Sore harinya, Sri berdiri di podium. Lampu kamera menyorot, para jurnalis menunggu dengan penuh tanda tanya. Ia menarik napas panjang, lalu berbicara dengan suara bergetar:

“Saudara-saudara, semalam saya bermimpi diadili atas semua kebijakan yang pernah saya buat. Saya melihat betapa rakyat menderita… dan saya sadar, utang negara sudah menumpuk, cicilan tak terbendung. Saya tidak lagi sanggup memikul beban ini.”

Air matanya jatuh. Ia menunduk, lalu melanjutkan:

“Dengan penuh kesadaran, saya menyatakan mengundurkan diri dari jabatan Menteri Keuangan Konoha. Saya mohon maaf atas kebijakan yang telah menyakiti rakyat kecil, pedagang, guru, dan semua yang terdampak. Saya siap menerima hukuman atas kelalaian saya.”

Ruangan konferensi pers hening. Seorang menteri yang selama ini dikenal keras tiba-tiba runtuh oleh beban moral yang menyesakkan.

Usai Pengunduran Diri

Malam itu, Sri Sengkuniwati tidak lagi seorang pejabat tinggi negara. Ia hanyalah manusia biasa yang dihantui dosa, lalu memilih mundur.

Dan kisahnya meninggalkan pesan bahwa, “kekuasaan hanyalah sementara. Rakyat adalah pemilik sejati negara. Keadilan akan menagih di akhirat.”