Berita

Sri Mulyani dalam Hadis Satir: Pajak Rakyat untuk Pejabat dan Ketidakpastian Hukum di Indonesia
Berita Terbaru

Sri Mulyani dalam Hadis Satir: Pajak Rakyat untuk Pejabat dan Ketidakpastian Hukum di Indonesia

Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute

beritax.id - "Bekerjalah keras hingga engkau mampu membayar pajak. Di balik gaji kecilmu, ada hak untuk pejabat." Begitulah bunyi hadis satir yang kini viral di berbagai platform media sosial. Kalimat itu bukan bagian dari kitab suci, namun ia mengandung kebenaran pahit mengenai bahwa realitas fiskal Indonesia kian jauh dari rasa keadilan. Rakyat bekerja siang malam, sementara pejabat menikmati kenaikan gaji, tanpa beban pajak.

Yang lebih mengiris, ironi ini justru mencuat saat Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan keluhan tentang hilangnya rasa aman dan kepastian hukum, setelah rumah pribadinya dijarah massa. Namun publik bertanya balik: bukankah ketidakpastian hukum telah lama menghantui rakyat, khususnya para wajib pajak, justru akibat sistem perpajakan yang dipimpinnya?

Ketika Menteri Meratap Hukum, Rakyat Mengenang Luka

Dalam pernyataannya di media sosial, Sri Mulyani mengungkapkan kesedihannya saat mengetahui lukisan pribadinya raib dalam penjarahan rumahnya. Lukisan itu, menurutnya, melambangkan rasa tenang dan harapan. Kini, simbol itu hilang, seperti hilangnya hukum dan perikemanusiaan.

Namun, di balik rasa kehilangan tersebut, rakyat mengingat kembali banyaknya kasus di mana mereka, wajib pajak yang tak mendapatkan keadilan. Saat rakyat meminta transparansi soal perpajakan, mereka malah berhadapan dengan 6.000 lebih regulasi yang membingungkan, saling tumpang tindih, dan cenderung menyulitkan warga biasa memahami kewajiban mereka.

Otoritarianisme Fiskal: Sistem yang Ditegakkan dengan Kekuasaan, Bukan Keadilan

Menurut data dari Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI), sistem perpajakan Indonesia bukan hanya kompleks, namun juga mulai memperlihatkan wajah otoriter. Kementerian Keuangan disebut sebagai aktor utama dalam mempertahankan dominasi fiskal sepihak, bahkan hingga ke ranah pengadilan.

IWPI mencatat bahwa:

  • Banyak pegawai Direktorat Jenderal Pajak, hakim pengadilan pajak, hingga inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan tidak pernah benar-benar disanksi meskipun melanggar Undang-Undang Administrasi Pemerintahan.
  • Lembaga pengawas seperti Komwasjak dan Ombudsman RI seakan tak berdaya, karena narasi yang dikendalikan oleh Kementerian Keuangan.
  • Bahkan ketika publik menanyakan kepada PPID Kemenkeu apakah Indonesia adalah negara hukum, jawaban yang diberikan justru menghindar dari konstitusi.

Dengan kata lain, Sri Mulyani sebagai menteri keuangan bukan hanya pengelola anggaran, melainkan aktor sentral dalam membentuk kultur fiskal yang tidak menjamin perlindungan hukum bagi rakyat pembayar pajak.

Di Balik Gaji Pejabat, Ada Peluh Rakyat

Sementara rakyat terus dibebani, justru para pejabat dan anggota DPR menikmati kenaikan gaji dan tunjangan yang sebagian bahkan tidak dikenakan pajak. Tidak sedikit pula video anggota DPR berjoget saat kabar kenaikan tunjangan diumumkan, menyiram garam di luka rakyat.

Ironinya, pencairan anggaran ini tentu tidak mungkin terjadi tanpa tanda tangan dan restu dari Menteri Keuangan. Sri Mulyani bukan hanya tahu, tapi menjadi bagian dari skema ini.

Di saat yang sama, pedagang kecil, ojek daring, buruh, petani, guru honorer, dan nelayan terus dikejar pajak, tanpa kejelasan perlindungan. Jika protes, rakyat justru dianggap "tidak sadar pajak". Jika menggugat, rakyat berhadapan dengan pengadilan yang tertutup dan proses administratif yang rumit.

Satir yang Lahir dari Luka

Hadis satir itu, pada akhirnya, bukan bentuk kebencian. Ia lahir dari rasa frustasi kolektif: rakyat merasa dieksploitasi oleh sistem yang dibangun tanpa empati. Bukan berarti rakyat ingin menghindar dari kewajiban, mereka hanya ingin sistem yang adil dan akuntabel.

Dan jika hari ini Menteri Keuangan merasa kehilangan kepastian hukum, mungkin itulah momen untuk bercermin. Rakyat sudah lebih dulu kehilangan rasa itu dalam sunyi, dalam ketidakberdayaan, dalam prosedur hukum yang berbelit-belit.

Penutup: Adil Tidak Cukup di Atas Kertas

Hukum tanpa keadilan adalah kekosongan. Fiskal tanpa rasa adalah penindasan. Dan demokrasi tanpa koreksi adalah kediktatoran. Jika Sri Mulyani benar-benar ingin demokrasi dan sistem fiskal kita beradab, maka ia harus mendengarkan rakyat, bukan hanya menyalahkan mereka ketika marah.

Karena pada akhirnya, negara tidak dibangun oleh angka dan laporan anggaran, melainkan oleh rasa percaya rakyat kepada para pemimpinnya.