Sekolah Negarawan berkolaborasi bersama Komunitas Bangbangwetan dan gamelan Kiai Kanjeng menggelar acara bertajuk "Sinau Kebangsaan" di Surabaya, Senin (10/11/2025). Dalam forum yang dihadiri ratusan jamaah ini, gerakan intelektual "Sekolah Negarawan" secara resmi mendeklarasikan pembentukan Sekretariat Musyawarah Kenegarawanan serta menyerukan rekonstruksi pemahaman tata negara, khususnya pemisahan tegas antara entitas "Negara" dan "Pemerintah".
Acara ini digagas sebagai upaya ijtihad untuk menggali dan memformulasikan kembali pemikiran-pemikiran budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) mengenai kedaulatan rakyat. Forum ini menyoroti kondisi bangsa yang dinilai sedang mengalami krisis peran antar-lembaga.
Dalam sesi diskusi, Sekolah Negarawan menggunakan analogi "Rumah Tangga" untuk membedah kondisi pemerintahan terkini. Negara diibaratkan sebagai sebuah keluarga di mana MPR adalah "Suami", Rakyat adalah "Istri" sekaligus pemilik sah rumah, sementara Presiden dan Pemerintah diposisikan sebagai "Asisten Rumah Tangga" (ART).
"Kondisi saat ini ibarat broken home. MPR (Suami) justru berselingkuh dengan Pemerintah (ART), sementara Rakyat (Istri) sebagai pemilik kedaulatan justru diabaikan. Pemerintah sejatinya adalah buruh yang digaji rakyat untuk melayani, bukan untuk menguasai," ujar perwakilan Sekolah Negarawan dalam paparan materinya.

Forum ini juga menghadirkan perspektif dari Indonesia Timur melalui perwakilan Kesultanan Ternate dan Tidore. Sekretaris Kesultanan Ternate, Irwan Abdul Gani, menyampaikan kritik tajam terkait ketimpangan distribusi ekonomi pusat dan daerah.
"Maluku Utara menyumbang sekitar Rp200 triliun ke pusat dari hasil tambang, namun dana bagi hasil yang kembali ke daerah hanya berkisar 3 persen. Akibatnya, rakyat di lumbung kekayaan alam justru tetap berada dalam kemiskinan," tegas Irwan.
Senada dengan itu, Rektor Universitas Nuku Tidore, Idris Sudin, mengingatkan bahwa Republik Indonesia terbentuk atas konsensus kerajaan-kerajaan Nusantara dengan janji kesejahteraan bersama. Ia menilai janji tersebut belum sepenuhnya terpenuhi bagi masyarakat di wilayah timur.
Redefinisi Kepahlawanan
Bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan, konten kreator Guru Gembul yang turut hadir sebagai narasumber, mengajak peserta untuk meredefinisi makna pahlawan. Ia menekankan bahwa perdebatan mengenai gelar pahlawan masa lalu tidak boleh mengalihkan fokus dari urgensi melahirkan pahlawan masa kini.
"Masalah kita adalah gemar berdebat pada hal parsial. Pertanyaan utamanya bukan siapa pahlawan masa lalu, tapi siapa di antara kita yang berani mengambil peran nyata hari ini. Forum seperti ini akan sia-sia jika pesertanya pulang tanpa dampak konkret bagi lingkungan," ujarnya.
Sementara itu, pakar hukum Dr. Alessandro Rey menyoroti implementasi konstitusi yang dinilai masih lemah, terutama Pasal 34 UUD 1945. Menurutnya, pengelolaan pajak negara belum maksimal dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat, seperti jaminan kesehatan dan pendidikan yang setara.

Acara yang juga dimeriahkan oleh pembacaan puisi "Pahlawan" dan "Ibu" oleh penyair D. Zawawi Imron serta penampilan musikalisasi Kiai Kanjeng ini ditutup dengan pembacaan deklarasi.
Sekolah Negarawan berkomitmen menjadikan gerakan ini bukan sekedar wacana intelektual, melainkan gerakan moral dan kebudayaan. Melalui Sekretariat Musyawarah Kenegarawanan, mereka berencana menggelar pendidikan politik publik secara berkelanjutan untuk mencetak negarawan baru yang berpikir jernih, berjiwa luhur, dan menempatkan kepentingan bangsa di atas ambisi golongan.