Badan Legislasi (Baleg) DPR RI optimistis Revisi Undang-Undang (RUU) tentang Hak Cipta dapat disahkan sebelum akhir tahun 2025. Ketua Baleg DPR RI Bob Hasan menjelaskan bahwa proses harmonisasi dengan berbagai pemangku kepentingan berjalan lancar dan produktif.
“Dengan harmonisasi yang sudah berjalan baik, konsepnya bisa dimantapkan, dan pembahasannya memungkinkan selesai tahun ini,” kata Bob di Gedung DPR RI, Rabu (12/11/2025).
Menurutnya, tahapan harmonisasi sangat penting untuk memperbaiki substansi hukum dan menyesuaikannya dengan perkembangan industri kreatif dan digitalisasi.
Bob Hasan mengungkapkan bahwa fokus utama revisi adalah memperbaiki sistem kolektivitas pengelolaan hak cipta, khususnya di bidang musik dan lagu. Selama ini, sistem tersebut dinilai belum mampu menjawab tantangan era digital, terutama dalam hal pembagian royalti dan perlindungan hak pencipta. “Sistem yang lama belum jelas, sehingga banyak masalah antara pencipta lagu dan penyanyi terkait hak ekonomi dan lembaga manajemen kolektif,” ujarnya.
Baleg DPR RI menargetkan revisi undang-undang ini akan memberikan kejelasan posisi Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) serta memastikan mekanisme pembagian royalti yang transparan dan adil.
Menanggapi hal tersebut, Anggota Majelis Tinggi Partai X Rinto Setiyawan menegaskan bahwa perlindungan hak cipta bukan sekadar urusan industri, melainkan juga tanggung jawab negara terhadap kreativitas rakyat. “Tugas negara itu tiga: melindungi rakyat, melayani rakyat, dan mengatur rakyat. Termasuk melindungi karya dan hasil pikir rakyatnya,” ujar Rinto.
Ia menilai bahwa pembajakan dan pelanggaran hak cipta adalah bentuk pencurian terhadap jerih payah anak bangsa. “Negara harus hadir. Kreator jangan terus jadi korban sistem yang longgar dan pelaku ekonomi besar yang abai terhadap keadilan,” tegasnya.
Menurut prinsip Partai X, perlindungan hak cipta adalah bagian dari keadilan sosial dan kedaulatan budaya nasional. Setiap karya seni, musik, film, atau inovasi harus dihargai sebagai wujud martabat bangsa, bukan sekadar komoditas ekonomi. “Bangsa yang besar bukan hanya karena sumber dayanya, tapi karena menghargai hasil cipta warganya,” kata Rinto.
Partai X menegaskan bahwa UU Hak Cipta harus berpihak pada pencipta, bukan hanya pada pemodal atau korporasi besar.
Partai X menawarkan tiga solusi konkret agar revisi UU Hak Cipta benar-benar melindungi pelaku kreatif Indonesia. Pertama, membangun sistem digital fairness, yakni mekanisme pembagian royalti yang transparan dan berbasis teknologi blockchain untuk mencegah manipulasi data. Kedua, memperkuat kelembagaan LMK agar memiliki otoritas pengawasan yang independen, profesional, dan bebas dari konflik kepentingan. Ketiga, mengintegrasikan perlindungan hak cipta dalam kurikulum pendidikan dan literasi digital, agar generasi muda memahami pentingnya menghargai karya.
“Kalau pelaku kreatif terus dirugikan, kita akan kehilangan daya saing budaya dan ekonomi nasional,” tegas Rinto.
Partai X menegaskan, revisi UU Hak Cipta bukan hanya tentang hukum, tetapi tentang penghormatan terhadap martabat rakyat pencipta. Negara wajib hadir melindungi mereka dari pembajakan, eksploitasi, dan ketidakadilan sistem. “Melindungi karya anak bangsa berarti menjaga jati diri bangsa,” tutup Rinto.
Bagi Partai X, perlindungan hak cipta adalah bentuk nyata pengamalan keadilan sosial dan penghargaan terhadap kerja rakyat.