beritax.id - Indonesia sedang berada di titik nadir. Bangsa ini dihadapkan pada krisis multidimensi: perebutan kekuasaan yang penuh manipulasi, hukum yang tak lagi tegak, ekonomi yang menindas rakyat kecil, dan budaya yang tergerus nilai-nilai keaslian. Struktur ketatanegaraan kita pun seperti rumah reyot: atapnya bocor, temboknya rapuh, dan fondasinya retak. Dalam situasi genting ini, lahirlah sebuah gagasan spiritual dan konstitusional yang disampaikan oleh Emha Ainun Nadjib atau yang akrab disapa Cak Nun: Konstitusi Langit.
Cak Nun bukan hanya seorang budayawan, melainkan seorang penafsir zaman. Melalui berbagai forum Maiyah, beliau menggulirkan konsep Konstitusi Langit. Gagasan yang berangkat dari kesadaran spiritual terdalam dan cita-cita untuk memulihkan kedaulatan rakyat. Konstitusi Langit menuntun kita untuk kembali ke nilai-nilai kesucian, kejujuran, amanah, dan kecerdasan rohani (fathonah).
Menurut Cak Nun, sistem ketatanegaraan yang kita anut hari ini hanyalah "Konstitusi Bumi" yang rentan ditunggangi kepentingan elite dan oligarki. Ia penuh jebakan narasi "demokrasi" yang nyatanya menyingkirkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan sejati. Konstitusi Langit hadir sebagai alternatif revolusioner: mengembalikan seluruh otoritas tertinggi kepada rakyat, sebagai pancer (pusat) dalam falsafah Sedulur Papat Limo Pancer.
Cak Nun sering menggambarkan perjalanan menuju tatanan negara baru melalui empat tahapan spiritual: syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat.
Dalam ceramahnya di Tamantirto, Bantul pada 17 Januari 2023, Cak Nun menyebutkan bahwa "Ketatanegaraan Indonesia sudah dikuasai Firaun, Qorun, dan Haman." Menurut beliau, sistem politik Indonesia sudah sangat mapan dikendalikan oleh kekuatan modal dan elite global, sehingga pemilu hanya formalitas untuk mengesahkan skenario yang telah dirancang. Bahkan, beliau menegaskan bahwa rakyat sudah terpinggirkan, dan negara ini "batal" dalam konteks spiritual, sehingga harus "wudhu ulang" untuk kembali pada niat sucinya.
Cak Nun juga menekankan pentingnya rakyat tidak sekadar memilih pemimpin, tetapi membangun kesadaran untuk memilih sistem dan paradigma yang benar. Tanpa perubahan struktur mendasar, semua perubahan hanya kosmetik belaka.
Karena konstitusi yang lahir dari rahim rakyat, bukan rahim elite, akan mengandung ruh kesadaran dan keberanian. Rakyat bukan sekadar angka statistik atau suara pasif dalam kotak suara. Dengan Konstitusi Langit, rakyat akan kembali menjadi pancer (pusat), dan negara akan dipimpin oleh orang-orang yang layak: bukan karena nasab atau popularitas, tetapi berdasarkan meritokrasi spiritual dan kecakapan menata bangsa.
Dalam konsep ini, pemimpin tertinggi bukan lagi sekadar presiden sebagai simbol kekuasaan tertinggi, melainkan "raja meritokrasi rakyat" yang diusulkan melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat, dengan anggota yang benar-benar mewakili unsur intelektual, spiritual, budaya, dan keamanan.
Tahun 2025 adalah momentum penting. Bukan lagi sekadar masa "menabur benih", tetapi saatnya tandang, berjuang, dan mengeksekusi gagasan. Konstitusi Langit bukanlah utopia yang mustahil, melainkan peta jalan spiritual dan politis yang sudah diletakkan Cak Nun sebagai cahaya penerang. Sekarang, tinggal siapa yang siap menjadi eksekutor gagasan, dengan niat suci dan konsistensi tinggi.
Mari kita pahami, jalani, dan perjuangkan, agar negeri ini tidak lagi sekadar "rumah bocor" yang dihuni rakyat yang terus dikorbankan. Mari kita wujudkan "rumah besar Indonesia" yang kokoh, nyaman, dan berkeadilan sejati.