Berita

Puisi Perjalanan Spiritual: Mimpi-Mimpi Cak Nun dalam Pemikiran Ketatanegaraan
Berita Terbaru

Puisi Perjalanan Spiritual: Mimpi-Mimpi Cak Nun dalam Pemikiran Ketatanegaraan

Oleh: Rinto Setiyawan
Ketua Umum Ikatan Wajib Pajak Indonesia
Anggota Majelis Tinggi Partai X
Wakil Direktur Sekolah Negarawan X Institute

Pada suatu malam Februari,
aku duduk di samping sang guru.
Mobil melaju di jalan terjal pegunungan,
dan Cak Nun yang menggenggam kemudi.
Aku hanya penumpang,
anak ruhani yang belajar,
menyimak arah jalan dari seorang yang telah menyalakan obor.
Tak kusangka, dua bulan kemudian,
tanganku menuliskan konsep lengkap tata negara,
sebuah rancangan amandemen kelima,
seakan mimpiku menjelma menjadi kenyataan,
meski aku tak pernah sengaja menyesuaikan.

Lalu tibalah September.
Malam lain, mimpi lain,
tapi kali ini berbeda:
aku yang duduk di depan,
sedang sang guru berada di belakang,
pintu mobil terbuka.
Aku yang kini menggenggam arah perjalanan,
sementara beliau, dengan tubuh tegap dan jiwa semangat,
memberi restu dari belakang.

Apakah ini bukan pertanda?
Dulu beliau ing ngarso sung tulodo –
di depan memberi teladan.
Kini beliau tut wuri handayani –
di belakang memberi dorongan.
Perjalanan masih panjang,
jalan tetap menanjak,
tapi aku tak lagi sendirian.
Di balik sakitnya, di balik semedinya,
Cak Nun tetap menyertai,
dengan pintu ruhani yang terbuka,
menjaga agar roda sejarah ini tetap berputar.

Maka aku tahu,
tongkat estafet sudah berpindah,
dan tugas ini bukan sekadar milikku,
melainkan amanah langit yang harus kutunaikan.
Karena ketika guru mundur ke belakang,
bukan berarti ia pergi,
melainkan memberi ruang,
agar muridnya maju,
menjadi eksekutor gagasan,
dan membawa bangsa ini
ke puncak gunung peradaban.