beritax.id – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyampaikan kekhawatiran atas program pendidikan karakter Pancawaluya Jawa Barat Istimewa. Program ini mengirim pelajar ke barak militer sebagai metode pembinaan.
Ketua KPAI Ai Maryati Solihah menyebut program barak militer tersebut berpotensi melanggar hak anak karena tak didahului asesmen psikologis. “Hilangnya asesmen dari psikolog profesional jadi indikator lemahnya pendekatan,” ujar Ai dalam konferensi pers, Jumat (16/5/2025).
Berdasarkan temuan KPAI di Purwakarta dan Lembang, 6,7 persen pelajar tidak tahu alasan mereka dikirim ke barak militer. KPAI menilai hal itu menunjukkan minimnya transparansi serta absennya pendekatan berbasis kebutuhan anak.
Ai juga mengkritik pendekatan seragam terhadap anak dengan karakteristik perilaku yang berbeda-beda. “Kenapa pelatihannya disamaratakan? Apa hasil asesmennya? Ini tidak adil,” tegasnya.
Menanggapi hal tersebut, Anggota Majelis Tinggi Partai X dan Direktur X-Institute Prayogi R Saputra menyatakan keprihatinan. Menurutnya, disiplin memang penting, tapi pendidikan tidak boleh direduksi menjadi barikade psikologis.
“Jangan tukar ruang kelas dengan pagar kawat. Disiplin tanpa nalar hanya mencetak kepatuhan, bukan karakter,” tegas Prayogi. Ia menambahkan bahwa pendidikan seharusnya membebaskan, bukan menakutkan.
Prayogi mengingatkan kembali prinsip dasar Partai X bahwa tugas pemerintah ada tiga: melindungi, melayani, dan mengatur rakyat. Ia menekankan, anak-anak adalah rakyat yang paling berhak atas perlindungan dan layanan terbaik.
Pendidikan harus menjadi sarana tumbuh kembang optimal, bukan sarana koreksi ala aparat keamanan. Pemerintah harus memahami bahwa disiplin harus dibangun dari dalam, bukan dipaksakan dari luar.
Dalam perspektif Partai X, negara adalah bus, dan pemerintah hanyalah sopirnya. Anak-anak adalah penumpang masa depan.
Pemerintah tak boleh sewenang-wenang mengarahkan hidup anak tanpa persetujuan dan pertimbangan yang matang. Pendidikan berbasis tekanan dan penyeragaman akan mematikan keberagaman karakter dan kecerdasan anak bangsa.
Sebagai solusi, Partai X mendorong pendekatan pendidikan karakter berbasis nilai, bukan ketakutan. Salah satunya melalui program Sekolah Negarawan dari X-Institute. Sekolah ini menanamkan karakter melalui pendidikan, bukan kekerasan terselubung.
Sekolah Negarawan dirancang untuk mencetak pemimpin muda yang berpikir kritis, solutif, dan berintegritas. Pendidikan karakter harus dilakukan dengan cinta, bukan tekanan militeristik.
Partai X menegaskan bahwa reformasi pendidikan harus berbasis sistem kepakaran. Setiap program pendidikan wajib melewati proses ilmiah, termasuk asesmen psikologi, evaluasi sosial, dan audit etika.
Anak-anak bukan objek eksperimen kebijakan jangka pendek. Mereka adalah subjek pembangunan masa depan yang harus dirawat dengan ilmu, bukan impuls kekuasaan.
Prayogi menutup pernyataannya dengan tegas. “Pendidikan bukan alat koreksi, tapi hak konstitusional,” ujarnya. Ia menyerukan penghentian segala bentuk praktik pendidikan yang melanggar hak anak, meski dibalut jargon karakter.
Negara harus hadir melindungi anak, bukan memenjarakan potensinya. Jika tidak, program pendidikan akan menjadi sumber luka baru bagi generasi yang seharusnya diselamatkan.